Pada beberapa kesempatan saya sering bertanya kepada teman-teman yang suka menulis, mereka bilang “saya gemar menulis” dari mulut mereka, atau dari kalimat yang dihasilkan tuts di gadget-gadget mereka. Mereka berkata demikian, saya sama sekali tidak menyangsikan itu. Saya percaya, dan kepercayaan itu mendorong saya untuk menagih apa yang sudah mereka tulis, tapi sayangnya mereka menolak untuk menunjukkannya dengan alasan: MALU.

Sumber gambar: language-komputer.blogspot.com

Di lain kesempatan, saya pernah meminta tolong pada teman-teman yang lainnya untuk menghubungi dosen/orang penting lainnya dalam rangka pengerjaan tugas kami. Saya percaya mereka bisa mengambil tugas namun kenyataannya tingkat kepercayaan mereka kepada temannya jauh lebih besar sehingga mendorong mereka untuk mempercayakan tugas itu kepada teman lainnya. Ada udang di balik batu, ada alasan tersembunyi dari alibi kepercayaan itu, yaitu: MALU.

Lain lagi ketika ada sesi belanja ke pasar ketika masa saya KKN, pas pada hari itu jadwal para cowok untuk berbelanja ke pasar. Para cewek sudah memberikan daftar barang yang akan dibeli, tatkala sudah sampai di tempat orang menjual ayam kami lantas sigak-sigakan (segan-seganan) agar salah satu dari kami mengalah untuk berangkat ke medan perang, karena tak ada yang bersedia akhirnya diputuskan untuk melakukannya bersama, tentu saja motifnya adalah: MALU.

Saya teringat petuah-petuah guru di masa sekolah dulu, sang guru ini mentransformasi peribahasa lama agar sesuai dengan zaman. Peribahasa ini sangat populer sekali sehingga saya yakin kamu pernah mendengarnya: Malu bertanya sesat di jalan. Di tangan sang guru peribahasa ini dirubah menjadi: Malu bertanya jalan-jalan. Artinya, meskipun sebenarnya MALU tidak akan menghentikanmu ia cukup potensial untuk menjadi penghalang. Bayangkan ketika seorang penjelajah malu untuk bertanya tentang daerah yang baru didatanginya, besar peluang bahwa ia akan tersesat dan hal yang paling memungkinkan yang akan ia lakukan setelah itu adalah: menelusuri jalan yang sama, kembali ke titik awal, kemudian memilih jalan yang lain, tersesat lagi, kembali ke titik awal dan begitulah hingga ia menemukan jalan yang benar. Permasalahannya adalah efisiensi waktu yang anjlok akibat rasa malunya tadi. Sehingga kita bisa mengibaratkan malu sebagai batu besar di tengah jalan utama, hanya ada 2 cara untuk bisa melanjutkan perjalanan: singkiran/hancurkan batu itu atau cari jalan memutar yang lebih jauh!

Berani menanggung malu untuk belajar
Pernah pada diskusi yang lain saya bertanya “bagaimana kalau kamu paksakan saja untuk mem-publish tulisanmu di media sosial agar orang lain bisa mengambil manfaatnya”, namun yang bersangkutan tidak berani karena takut dikritik dan segala macamnya. Demi ribuan karakter yang sudah saya ketik di tulisan ini, pelaut ulung tidak lahir dari lautan yang tenang melainkan lautan yang bergelombang. Dikritik itu biasa, jadikan itu sebagai pijakan untuk menuju tingkat selanjutnya. Dikritik adalah bagian dari pembelajaran itu sendiri. Bahkan hinaan adalah penyemangat yang datang dengan cara yang berbeda. Kamu hanya perlu membantah segala sentimen negatif dengan karya nyata yang menunjukkan bahwa kamu bisa.

Sebagaimana pelaut yang harus menghadapi badai dan gelombang demi menjadi pelaut ulung, seorang pembelajar juga harus berani menanggung malu agar menjadi pembelajar ulung. Terakhir, ketika saya masih berstatus aktifis mahasiswa, seorang senior saya pernah bilang: jika menurut kalian (mahasiswa) itu adalah tindakan yang benar ya lakukan saja, (kritik pemerintah itu dengan cara kalian) sehingga aspirasi kalian itu tampak, jadi fungsi kalian berjalan, toh kalaupun nanti itu menjadi keputusan yang salah kan tinggal minta maaf, namanya juga belajar. Saya mengamini itu. Tapi tentu saja kesalahan ini masih dalam taraf wajar tanpa melanggar norma yang berlaku. So, bukan masalah yang besar jika harus malu dalam belajar. Tak perlu malu disangka (maaf) bodoh, tak perlu malu disangka tidak paham, tidak perlu malu disangka amatiran (walaupun memang begitu kenyataannya, hehe), jadilah pembelajar yang punya nyali. Semangat untuk unjuk gigi!

error: Konten dilindungi