Rabu (28/10) bertempat di depan Istana Negara, lebih dari 2000 mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), menggelar aksi bertajuk Sidang Rakyat dalam rangka mengkritisi pemerintahan Jokowi-JK yang telah memasuki 1 tahun terhitung tanggal 20 Oktober 2015 yang lalu.

Aksi dengan massa yang berasal dari 57 kampus kampus ini dimulai dengan long march dari Patung Kuda menuju depan Istana Negara. Aksi berlanjut dengan orasi dari perwakilan BEM dan Sidang Rakyat.  

Dalam kesempatan sidang rakyat tersebut  masing-masing perwakilan mahasiswa menyampaikan dakwaan terhadap Presiden Jokowi yang meliputi  8 bidang: pendidikan, kkonomi, kesehatan, hukum, energi, kemaritiman, lingkungan dan pangan. Sidang berlangsung selama 2 jam hingga kemudian ditutup dengan pembacaan Putusan Majelis Hakim yang disambut dengan teriakan keprihatinan dari seluruh massa aksi yang hadir.

“Dengan memperhatikan seluruh dakwaan dan kesaksian yang telah disampaikan, maka Majelis Hakim Sidang Rakyat memutuskan bahwa Presiden Jokowi telah gagal menjalankan pemerintahan RI dalam kurun waktu satu tahun ini dan memerintahkan Presiden Jokowi untuk merealisasikan seluruh tuntutan mahasiswa yang telah disebutkan dalam dakwaan selamat-lambatnya 100 hari kerja dari sekarang,” tutup Bambang Irawan, yang didaulat menjadi Hakim Ketua didampingi Reido Deskumar (Presma Univ.Andalas) serta Andi Aulia Rahman (Ketua BEM UI) sebagai Hakim Anggota. )

Jika ditinjau dari jumlah massa, Sidang Rakyat ini tentu bukan aksi yang kecil, ditambah dengan lokasi aksi yang  harusnya mempunyai nilai berita yang sangat tinggi. Pers yang, seharusnya, berfungsi sebagai mata, mulut dan telinga masyarakat hendaknya mengabarkan gejolak yang terjadi tapi nyatanya nihil. Dan, parahnya, kasus ini bukan sekali-dua kali, isu pergerakan mahasiswa zaman sekarang ini bagi mereka (pers–pen) tidak lagi seksi. Pernahkah kamu bertanya-tanya kenapa?

Kebanyakan orang berkata  bahwa mahasiswa sekarang tidak ada power-nya, tidak peduli dengan keadaan negara dan cenderung memikirkan diri sendiri. Lantas, apakah itu sepenuhnya salah atau sepenuhnya benar? Tentu saja tidak. Ada benarnya, ada salahnya! Pada kenyataannya, persepsi itu terbenarkan ketika mahasiswa lebih suka hadir di acara-acara talkshow di studio-studio televisi dengan almamater kebanggaan mereka tapi tentu masih ada segolongan yang menggunakan almamaternya untuk tampil di jalan. Perbedaan mendasarnya adalah, mahasiswa yang tampil di studio televisi tertangkap kamera sedangkan yang dijalanan tidak. Maka wajar jika persepsi itu muncul dan diperparah dengan enggannya media mengarahkan lensa kameranya.

Minimnya pemberitaan media tentang Sidang Rakyat yang digelar kemarin membuktikan bahwa media saat ini tidak lagi pro dengan mahasiswa yang notabene adalah penyambung suara rakyat. Padahal jika kita baca sejarah, kebebasan pers menemukan ‘kemerdekaan’ bersama dengan jatuhnya Orde Baru saat aksi besar-besaran mahasiswa tahun 1998. Maka pernyataan bahwa media saat ini sudah ditunggangi kepentingan asing bukan omong kosong belaka.[]
  

error: Konten dilindungi