Seperti gelombang sinus, semuanya bergerak dari nol. Kemudian menanjak, sedikit-sedikit hingga ke puncak. Tapi tentu saja setiap tanjakkan ada turunan. Begitu juga semangat, juga semua hal yang non-instan.

Suatu ketika saya mendapat insiprasi dari sebuah animasi yang saya tonton, ada sebuah pertanyaan unik. “Di Jepang lebih banyak mana tanjakan atau turunan?”. Pertanyaan ini kemudian saya ambil dan tanyakan pada teman-teman lewat grup WhatsApp. “Di Universitas Andalas, banyakan mana tanjakan atau turunan?”. Saya pikir jawabannya akan sama tapi ternyata tidak.

Bagaimana Kita Memilih Jalan
Jika dihitung secara teoritis, jumlah tanjakan dan turunan adalah sama. Orang yang menjawab demikian, saya pikir, adalah orang yang realistis. Tapi jawaban lain muncul dengan mengatakan bahwa itu tergantung. Ya. Tergantung bagaimana kita memilih jalan.

Orang yang mengatakan jumlah tanjakan dan turunan itu sama adalah orang yang sebatas menjadi pengamat dari jauh. Dengan kata lain, ia tidak menempuh tanjakan atau turunan itu.

Orang yang mengatakan jumlah tanjakan itu lebih banyak dari turunan adalah orang yang senantiasa berjuang mencapai puncak.

Orang yang mengatakan jumlah turunan lebih banyak dari tanjakan adalah orang yang, katakanlah, menyerah atau sedang di jalan kembali pulang.

Sebagaimana Kehidupan dan Elemen yang Menyusunnya
Hidup ini pula. Seperti gelombang sinus, semuanya bergerak dari nol. Kemudian menanjak, sedikit-sedikit hingga ke puncak. Tapi tentu saja setiap tanjakkan ada turunan. Begitu juga semangat, juga semua hal yang non-instan.

Iman
Semangat
Kejujuran
Kesetiaan
Kesabaran
dan segala hal luhur lainnya bukanlah hal yang instan,

Dia, Allah, berfirman dalam surat  Asy-Syams berfirman,
”Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan Fujur (kefasikan) dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (As-Syams: 8-10).

Melewati tanjakan memang sulit dan butuh tenaga. Sesekali kita dipaksa istirahat. Sesekali kita mungkin dengan sengaja atau tergelincir turun. Oleh karena itu, selain butuh semangat menanjak yang kuat, kita butuh kaki yang kuat pula agar dapat mencengkram bumi tempat kita berdiri.

error: Konten dilindungi