Sebenarnya kebahagiaan itu muncul bukan karena kita berkelebihan, tapi karena kita berkecukupan dan kita menyukurinya. Sebuah keluarga yang hangat dan perhatian. Keluarga yang sedia membangunkan kita saat bermimpi dan bilang “kalau mau mimpimu terwujud, kau harus bangun!”. Kemudian kita bangun, meski sempoyongan, dan meski ini masih pagi sekali, tapi senyuman dari orang-orang tersayang mampu mengalahkan dinginnya hari. Dan karena itulah kita berhak bahagia.

Saya lahir dari sebuah keluarga sederhana, kesederhanaan yang menghadirkan keistimewaan, kesederhanaan yang insyaa Allah tidak akan pernah saya sesali. Menyesal untuk apa? Tidak ada alasan. Orang tua sering menghibur kami bahwa “anak-anak yang terbiasa susah di masa mudanya adalah anak-anak yang akan sukses di masa depannya”. Saya percaya. Allah Maha Adil. Maka segala apapun halang-rintang yang menghadang, sedapat mungkin kami lalui dengan tenang. Kami lahir, kami bersekolah. Kami membangun mimpi-mimpi kami. Kami menyicil bahan-bahan untuk istana kami. Papa, mama dan adik-adik semuanya, bersama-sama. Dengan semangat mambangkik batang tarandam kami meyakinkan diri kami bahwa kami bisa membawa perubahan.

Ibu kami bukan perempuan karir dan kami sangat bersyukur karenanya. Kami memiliki waktu yang sangat banyak bersama ibu kami. Banyak sekali. Ibu kami selalu punya waktu untuk menjaga kami di ayunan, menemani kami tidur dan bahkan berjaga ketika kami mendadak sakit—bahkan walau sudah sebesar-besar sekarang. Ibu kami adalah perempuan mulia dengan pekerjaan mulia pula, dan kami semua mengaguminya. Ibu kami rela tidak makan sebelum anak-anaknya makan terlebih dahulu. Ibu kami ikhlas makan dengan cabe sambal bahkan minyak saat kami ‘kelewatan’ menghabiskan masakan yang dibuatnya. Ibu kami yang rela bangun lebih cepat dari orang lain pada umumnya untuk mengusahakan uang sekolah kami.

Ibu kami, bagi kami, adalah segalanya. Tidak ada duanya.

Nah, kalau ibu kami yang pertama, lantas siapa yang kedua? Tentu saja ayah kami.

Ayah kami yang sering menitip salam. Bagi seorang ayah, perhatiannya sempurna dalam diam. Kasih sayangnya bersembunyi di balik tangan dan pundaknya yang ia gunakan untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Ayah kami tidak banyak bicara, bukan karena tidak ingin. Hanya saja, ia punya cara tersendiri. Bila kami dapati telepon dari seberang sana, barangkali ayah kami lah inisiatornya, ibu kami adalah juru bicaranya. Itulah caranya dan kami memahaminya. Sungguh.

Saya dan adik-adik saya tumbuh bersama mimpi-mimpi besar. Kami dididik untuk menjadi pejuang. Agar kami bisa menjadi manusia seutuhnya. Setidaknya begitulah yang kami tahu. Maka tidak ada cara lain  bagi kami untuk memberi reaksi, selain berusaha menjadi anak-anak yang sukses dunia dan akhirat. Kami tempuh langkah-langkah yang berbeda dengan visi yang tetap sama. Hingga esok hari, kami bisa berbesar hati, bahwa kami lah pemenangnya.

Maka sesungguhnya, kebahagiaan itu amatlah sederhana. Ia akan hadir setiap kali kami bersyukur dan menghindari keluhan. Karena sampai saat ini saya masih yakin, keistimewaan itu  bermula dari kebahagiaan. Dan kebahagiaan itu hadir dari kesederhanaan.  
error: Konten dilindungi