Bismillah. Apa kabar hati? Apa kabar semangat? Apa kabar diri yang sampai saat ini belum juga temukan tepian? Semakin hari pasang semakin naik, gelombang semakin galak, tapi pantang bagi seorang nahkoda untuk berpasrah diri. Segalanya masih bisa diusahakan, andai kita masih berkeinginan. Sesungguhnya setelah kesulitan itu selalu ada kemudahan. Maka, sesungguhnya setelah kesulitan itu selalu ada kemudahan. Apabila telah selesai dengan satu urusan, maka bergegaslah  mengerjakan urusan yang lain. Dan hanya pada Tuhanlah kamu berharap. (mengutip dari Al-Qur’an boleh kan ya, Al Insyirah 5-8)
Saya teringat akan sebuah diskusi dengan teman-teman beberapa waktu silam. Terkait bagaimanakah sikap kita yang tepat ketika diberi amanah. Dipicu dari ketidaksukaan beberapa orang terhadap cara ‘normal’ yang dipakai untuk menunjukkan berapa beratnya amanah itu, banyak orang yang menggunakan kalimat Istirja’, yaitu kalimat “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un” seakan-akan amanah adalah musibah. Nah, menurut saya pribadi, ini hanyalah persoalan persepsi dan tidak usah kita perdebatkan. Yang jelas, yang bisa kita tarik dari amanah ini adalah, ia adalah sebuah tugas yang bisa mengantarkanmu ke surga-Nya atau malah ke neraka-Nya. Ia tidak boleh diminta, namun ketika diberi tidak boleh ditolak. Kalau boleh mengambil pengandaian, saya ingin katakan, dia adalah ruh lain dari kehidupan. Karena seseorang tidak mungkin hidup tanpa adanya amanah. Setidaknya, ia hidup adalah untuk memenuhi amanah Tuhan untuk menghamba pada-Nya, untuk menjadi khalifah di bumi cintanya Allah. Seseorang baru bisa dikatakan paham dengan hidup ketika ia sudah mengerti tujuan hidupnya untuk apa. Lalu berjuang sekuat tenaga untuk mewujudkan tujuannya itu. Barulah setelah itu dia bisa dikatakan hidup, benar-benar hidup.
Karena memang saya suka mengingat-ingat, cukup satu kata saja sebenarnya untuk membuat saya merenung lama. Seorang senior pernah bilang bahwa, “amanah itu tidak akan pernah berhenti sampai kaki kita menginjak jannah-Nya, menginjak surga-Nya”. Maka seharusnya kita bersedih andaikata tidak diberikan kesempatan untuk berkontribusi, harusnya kita bertanya pada diri sendiri apa yang salah atau kurang pada diri kita. Dan, kalau memang begitu adanya, tidaklah salah jika yang terucap dari bibir ini adalah kata hamdallah, Alhamdulillah, terimakasih ya Allah sudah mempercayakan hamba.
Di lain cerita seorang sahabat saya sering menangis, ia selalu mengingat-ingat dan khawatir apakah ia sudah menjalani (amanah) dengan sebaik-baiknya. Ketika kau ditunjuk menjadi seorang pemimpin segala hal terkait kepemimpinanmu adalah tanggung jawabmu adanya. Dirimu, rekan-rekan kerja, saudara/saudari seperjuangan. Sejatinya, ketika kau menjadi pemimpin kau bukanlah serta merta seorang penguasa, yang dengan sekonyong-konyong bisa memerintah ini dan itu. Ketika menjadi pemimpin, sebenarnya kau adalah seorang pelayan! Benar, seorang pelayan.
Salah satu sosok pemimpin yang saya kagumi adalah, Umar bin Abdul Aziz dengan kerendah hatian yang mempesona, dengan kesederhanaan yang memukau. Pikirannya penuh dengan bagaimana menyejahterakan rakyat. Hingga hasil gemilang yang ia capai, tak ada satupun rakyatnya yang berhak menerima zakat!
Dan tentu, jangankan sahabat Rasul, dengan para tabi’in pun saya masihlah jauh. Seringkali terkendala untuk memutuskan bagaimana mengambil sikap. Bagaimana berlaku adil. Bagaimana menciptakan kenyamanan di lingkungan. Bagaimana menjaga…
Banyak sahabat/saudara yang menegur, saya bahagia. Banyak saudara yang menasehati, rasanya syukur ini tak cukup, bahwa saya tak pernah sendiri. Ada nuansa ukhuwah yang tidak cuma memperdekat raga kami, tapi juga mengikat hati kami. Maka betapa bahagianya, jika mampu kita selesaikan amanah itu bersama-sama. Agar ia tunai. Berpeluh suka dan duka, kita jalani semua. Semata-mata harapkan ridho-Nya.
Teruntuk semua sahabat yang membersamai.

Fastabiqul khairat!
error: Konten dilindungi