“Eh lo besok bisa datang kan ya?

“Kemane?”
“Ke sekre lah, kita kan mau rapat untuk acara bulan depan”
“Oh, oke, insya Allah”
“Insya Allah barek ka iyo atau ka indak ko?” (berat ke iya atau ke tidak ini?–pen)
Apakah kamu pernah mengalami percakapan serupa dengan di atas, saya pernah, sering malah. Saat seorang teman menagih komitmen kita untuk datang ke sebuah kegiatan, dia menagih janji, terus kita jawab ‘insya Allah’, nah si teman ini tersenyum “Insya Allah-nya berat ke iya atau tidak?”. Wah, memang salah kalau berjanji dengan mengucapkan ‘insya Allah’? Check!
Insya Allah, kita semua sudah tahu lah ya artinya. Intinya ‘jika Allah mengizinkan’. Jika Allah mengizinkan maka aku akan datang. Jika Allah mengizinkan maka aku akan kembali. Jika Allah mengizinkan maka aku akan meminangmu,… (ups, keceplosan). Jadi intinya, mengucapkan kalimat “insya Allah” adalah kepasarahan diri bahwa Allah lah yang mempunyai kuasa atas segalanya. Bisa jadi ketika datang hari H atau waktu yang sudah dijanjikan ada kendala ini dan itu. Nah, ada yang bisa menjamin bahwa dia akan tetap hidup atau tidak terjadi hal diluar dugaan setelah ia mengikrarkan janji itu? Maka ‘insya Allah’ adalah sebaik-baik jawaban untuk berjanji.
Insya Allah, jika Allah mengizinkan aku akan datang,…
Tapi permasalahannya adalah ketika kalimat ‘insya Allah’ digunakan seenak perut. Saat ditanya ini dan itu jawabnya ‘insya Allah’. Bukannya takut ada halangan atau gimana, cuma gak mau ngasih jawaban pas dan ‘insya Allah’ disalah gunakan untuk berdalih karena tak punya alasan. Jadi kesannya ‘insya Allah’ adalah jawaban abu-abu. Antara iya atau tidak, namun kebanyakan menjadi ‘tidak’. Di beberapa kejadian di kehidupan ini rasanya kita pernah menemukan orang-orang yang dengan entengnya berkata ‘insya Allah’ terus mengingkarinya. Alhasil, lahir hipotesis bahwa ‘insya Allah’ adalah jawaban yang mendekati ‘tidak’?
Dasarnya janji adalah hutang, hutang mesti dibayar, kalaulah tidak di dunia ya di akhirat. Maka berjanji harus didahului dengan berpikir matang-matang sanggup atau tidaknya kita melakukannya. Terkadang ada yang senang menyanggupi segala sesuatu, rasa-rasanya bisa tapi akhirnya tidak dikerjakan juga. Terkadang ada yang iya-iya saja demi citra, akhirnya dia sendiri yang memperburuk citranya karena melanggar janji itu sendiri. Beruntung kalau orang yang dijanjikan paham, nah kalau kita dicap ‘munafik’ gimana coba?
Jadi karena seseorang tidak bisa memprediksi bahwa diri kita pasti mampu melaksanakan sesuatu yang telah dijanjikannya pada orang lain pada masa yang akan datang, maka seharusnya kita sertakan janji-janji kita dengan kalimat Insya Allah (jika Allah menghendaki) atau bi Masyiatillah (dengan kehendak Allah) atau illa An YasyaAllah (kecuali jika Allah menghendaki). Hanya saja, saat mengucap insya Allah atau kalimat serupa, kita harus memahami bahwa kita tidak sekadar berjanji pada yang bersangkutan saja, tapi kita telah menyertakan Allah di dalamnya. Jadi insya Allah berarti (mutlak) iya, bukan jawaban untuk menghindar, dan tentu saja bukan berat ke ‘tidak’. Sekali lagi, Insya Allah itu artinya Jika Allah berkehendak bukannya Gak Janji, ya,..
Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, “Aku pasti melakukan itu besok pagi,” kecuali (dengan mengatakan), “Insya Allah.” Dan ingatlah kepada Tuhan-mu apabila engkau lupa dan katakanlah, “Mudah-mudahan Tuhan-ku akan memberiku petunjuk kepadaku agar aku yang lebih dekat (kebenarannya) daripada ini.”(QS: Al Kahfi ayat 23-24)
“Jangan insya Allah, insya Allah saja, bilang iya kenapa. Boleh jelas!” kata teman saya lagi.
Jadi, beliau lebih mengharapkan jawaban ‘iya’. Okeh,..
“Insya Allah iya” kata saya, tentu saja tetap ada kata ‘insya Allah’-nya.
Wallahua’lam bi shawab
error: Konten dilindungi