Mental, apa yang salah dengan itu kata? Yang penulis maksud ini apaan sih? Mental secara fisik atau secara psikis. Mental secara psikis/psikologis berarti keberanian, bisa juga dikaitkan dengan percaya diri. Ujung-ujungnya lari ke jati diri, tepatnya emosional. Nah, kalau mental secara fisik, misalnya kamu sedang main bola yang ditendang ke dinding, terus bolanya balik lagi ke kamu, nah itu namanya mental juga. Maksud dan tujuan saya menulis ini tulisan adalah ingin mengaitkannya dengan kalangan remaja, teman-teman saya (kita) di luar sana. Jadi boleh kan ya?

Kita semua tahu bahwa zaman sekarang ini mental remaja (islam, khususnya) sungguh sudah sangat memperihatinkan sekali, pasalnya remaja kita sekarang ini bisa dibilang remaja karbitan. Remaja yang dewasa sebelum waktunya. Gimana gak coba? Tiap hari disuguhi gaya hidup orang dewasa, berbuat ini dan itu. Hidup jadi seperti suka-suka. “Suka-suka gw dong mau ini dan itu”, katanya, sebebas apapun pergaulan mereka, mereka beranggapan itu hak mereka atas diri mereka sendiri. Secara khusus kita mungkin tidak bisa menyalahkan langsung, karena tentu ada campur tangan beberapa kalangan di sana.

Kalangan pertama, orang tua. Kamu tentu pernah mendengar peribahasa “buah tidak jatuh jauh dari pohonnya”. Tabiat seorang anak dari mula kecil adalah meniru apa-apa yang dilakukan orang tuanya. Apabila yang diajarkan adalah hal-hal yang baik-baik maka besar kemungkinan dia akan menjadi anak yang baik. Tentu saja mesti diiringi oleh penjagaan pergaulannya.

Kalangan kedua, orang-orang di lingkungan. Meski tidak ada sangkut pautnya, tapi biar refresh coba kita ingat film Tarzan, di mana si Tarzan ini anak yang tertinggal di hutan kemudian dibesarkan oleh primata, akhirnya dia merasa seorang, eh, seekor primata. Lingkungan membentuk frame berpikirnya, dan juga tingkah lakunya. Nah, bagi seorang anak, lingkungan menjadi faktor penting dalam perkembangan dirinya. Kalau keluarganya sakinah, mawaddah wa rahmah, insya Allah dia akan menjadi baik. Kemudian didukung dengan lingkungan di mana berkumpul orang-orang baik. Lain hal jika lingkungannya absurd, atau “gelap” akhirnya dia akan terbawa gelap juga.

Akhirnya, bobroknya mental remaja saat ini bisa terjadi karena kurangnya perhatian dari berbagai pihak. Kurangnya edukasi. Dan banyaknya hal-hal yang mencuci otak, misal tayangan teve yang tidak bermanfaat. Dan banyak lagi. Dan banyak lagi. Maka, sebagai pihak yang (setidaknya) ada di dalam lingkungan itu hendaknya kita menjadi pembawa cahaya, pemberi rasa. Kita berikan cita rasa luhur, cita rasa yang islami. Kita tuntun, karena berjalan bergandengan tangan itu, jauh lebih menyenangkan dibanding sendirian. Mari sama-sama menjadi remaja yang islami dan berprestasi (merasa masih remaja, haha).

#SatuHariSatuTulisan

error: Konten dilindungi