Suli kembali terpekur di tepian pantai sebagaimana yang ia lakukan belakangan ini. Duduk bersila di bawah pohon kelapa, membiarkan angin berhembus membelai rambutnya yang bergelombang laksana ombak. Ia menghirup napas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan-pelan, berusaha membuang gundah yang menjadi sekat berujung sesak di dadanya yang bidang. Kemudian ia melempar pandang pada matahari yang garang dibalik awan yang bergerombolan, pada ambai-ambai yang berjalan mereng, atau pada anak-anak yang bermain lompat tali dengan girang di bawah pohon pinus yang tak jauh dari tempat ia bersila dan tak luput lapau nasi Ni Sari. Semua orang menyibukkan diri, yang duduk bermenung hanya ia seorang, para nelayan tengah bercengkrama di lapau dengan ota mereka yang dinamis. Sesekali terdengar oleh Suli orang-orang itu berdiskusi soal politik, soal ekonomi, soal pasang naik yang membuat mereka tak bisa melaut, atau soal adat istiadat yang makin hari makin pudar. Hendak Suli menggabungkan diri kesana, ikut serta dalam ota lapau yang terdengar mengasyikkan, tapi ia telan saja inginnya itu. Suli tahu bahwa ia akan menjadi bulan-bulanan sindiran. Cukup sudah hal itu terjadi, sudah lelah ia. Sudah lama pula ia menasehati kakak perempuan dan kemenakannya agar menghentikan berbuat hal yang dapat mencemari nama baik kaum mereka, mencoreng nama Suli sebagai seorang mamak, tapi sudahlah dinasehati tidak berhenti jua.
Suli semakin terpekur, kepalanya serasa ditimpa buah kelapa. Ia bukan kerbau yang tak mengerti bahasa sindiran yang bahkan bisa lebih menyakitkan ketimbang pernyataan langsung. Kampung pesisir boleh jadi kampung yang sunyi, tapi terhadap penyimpangan orang-orang tak akan diam sama sekali. Di kampungnya nuansa adat masih kental terasa, masih banyak golongan tua yang berpegang teguh pada hal itu. Bahkan ada yang lebih memuja pelajaran Budaya Alam Minangkabau ketimbang pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang juga mengajarkan perihal moral dan etika. Sebab itu orang-orang kampung yang mayoritas nelayan itu akan dengan senang hati saling mengingatkan perihal salah atau janggal agar menjadi benar dalam eratnya kebersamaan yang klasik. Namun sebab semua itu pula Suli kini jadi tertekan batin, bukan terhadap orang-orang yang mengingatkan dengan cara menyindir itu melainkan pada kakak dan kemenakannya yang susah dicegah. Sebagai mamak ia merasa telah dilangkahi, tidak dihormati dan dihargai bak anjing menggonggong kafilah berlalu. Ia boleh jadi lebih muda, tapi ia laki-laki, bagaimanapun kedudukan seorang mamak tak pernah terikat usia.
Suli masih terpekur sambil bersandar lesu pada pohon kelapa di pantai, sementara anak-anak yang bermain di bawah pohon pinus tadi sudah hilang entah kemana. Angin masih memain-mainkan rambut Suli yang bergelombang. Kembali Suli menghirup napas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan-pelan. Ia lalu melirik arloji, masih pukul sebelas. Ia belum ingin beranjak karena istrinya belum pulang mengajar di sebuah sekolah dasar. Ia akan menunggu hingga siang datang sambil merenung dan sesekali menengok ke belakang.
***
Seorang lelaki bertubuh besar dan berkulit hitam duduk di atas palanta di teras rumah dekat kaca nako yang kusam. Lelaki itu menyeruput kopi hangat yang baru dibuatkan oleh Suli. Lelaki yang Suli panggil Mak Itam itu adalah satu-satunya mamak yang masih bertahan di kampung sebagai seorang nelayan sedangkan mamaknya yang lain telah lama merantau. Sebagai mamak lelaki itu penuh wibawa. Setiap perkataannya selalu dipenuhi petuah yang mengena, sedikit keras namun efektif. Lelaki itu peduli benar dengan setiap kemenakannya. Jika ada perkara yang terjadi terkait kemenakan ia akan tampil pada posisi terdepan. Menengahi, membela atau menghukum. Berusaha bertindak seadil mungkin. Oleh Suli lelaki itu ia jadikan sebagai panutan.
Tepat pada saat itu Suli tengah berperkara. Perkara yang membuatnya malu tak tanggung. Perkara yang sebenarnya tak pernah disengaja namun ia begitu menyesal akan hal itu. Itu hanya kesalahpahaman tapi orang-orang kampung menilai itu sebuah penyimpangan sebab mereka melihat dengan mata kepala sendiri. Suli tak bisa berbuat apa-apa, ia pasrah sepenuhnya pada Tuhan. Mamaknya tak juga dapat berbuat banyak selain hanya menampung segala macam bisik-bisik orang sekampung lalu menemui Suli untuk dinasehati. Yang tengah terpuruk oleh perkataan orang dan bahkan kakaknya sendiri. Sempat ia menangis karena tak tahan dikatakan sebagai pencemar nama baik kaum.
Lelaki yang duduk di palanta itu meminta Suli untuk duduk disampingnya. Suli ketakutan meskipun telah ia jelaskan duduk perkara yang sebenarnya.
“Mak Itam percaya dengan apa yang kau ceritakan, tapi untuk memperbaiki pandangan orang-orang memang harus dicari penyelesaian. Penyelesaian yang tuntas bukan yang sementara. Tapi aku tak tahu apakah pihak yang satu lagi menerima. Tapi mencoba terlebih dahulu tidak masalah, bukan?”
Suli terkejut mendengar perkataan mamaknya itu.
“Tapi…” bantah Suli “awak kan tidak pernah melakukan apa yang dituduhkan. Demi Allah, Mak, semua itu hanya kesalahpahaman semata. Awak belum sanggup, Mak”
Tapi lelaki itu mengalihkan pembicaraan, tidak menanggapi bantahan kemenakannya itu.
“Semakin lama adat istiadat akan semakin pudar hingga pada akhirnya hilang ditelan masa sebab pengaruh-pengaruh asing yang berdatangan. Suatu hari nanti bisa saja anak tidak hormat pada orang tua dan mamak. Sifat segan dan malu telah hilang dari hati orang-orang hingga saling melangkahi tanpa pandang” tukas Mak Itam panjang.
Lelaki itu berhenti bicara. Tangannya beranjak menggapai gelas kopi yang masih bersisa sedang Suli menatap ke langit, menerawang.
“Tapi tugas seorang mamak akan selalu sama. Mamak akan terus berkewajiban membimbing kemenakan agar selalu hidup beradat. Jika ada yang tidak beres pada kemenakan mamak harus turun untuk menyelesaikan dengan sebaik-baik penyelesaian. Sebab jika kemenakan tak benar, orang-orang akan beranggapan bahwa mamaknya berlepas tangan. Dan sebab itu lah kutawarkan penyelesaian itu padamu” sambung lelaki itu.
Suli menekur mendengar perkataan mamaknya itu. Ia kembali teringat perkara yang telah menimpanya dan hampir saja membuatnya gila.
***
Sebuah undangan datang pada Suli tanpa diduga. Undangan dari sepasang kawan lama satu SMA yang memutuskan menikah muda. Hanya selang tiga tahun setelah tamat dari sekolah menengah. Suli tertawa kecil sebab si calon marapulai dan ia adalah konco arek semasa sekolah dulu. Kini kawannya itu akan menikah terlebih dahulu, Suli ikut bahagia namun sedikit iri. Selepas menerima undangan itu ia tiba-tiba saja teringat seorang teman satu SMA yang sekampung dengannya barangkali juga mendapatkan undangan itu, yang menjadi anak dara adalah sobat karib beliau. Lantas ia mengirim sebuah pesan singkat pada teman perempuannya yang bernama Mila, sebatas menanyakan perihal undangan. Beberapa jenak berselang hingga ponselnya bergetar, buru-buru ia buka pesan balasan, temannya itu mengatakan akan pergi dan meminta Suli untuk pergi bersama. Suli mengiyakan lantaran tahu perempuan itu tidak pandai berkendara dan tempat perhelatan yang lumayan jauh.
Pada sebuah siang di hari yang tertulis dalam undangan Suli mendatangi rumah Mila. Suli terkejut ketika menemukan perempuan itu tampak kurang sehat, lantas Suli memintanya untuk beristirahat di rumah saja. Hanya saja ia tidak mau dicegah, ia tetap ingin ikut setelah berkata telah mendapat izin. Lagipula mereka tak akan berlama-lama di tempat itu. Namun yang terjadi kemudian sungguh di luar dugaan, saat mereka sampai di tempat perhelatan mereka ditahan oleh kedua mempelai dan teman lain yang juga berdatangan. Mereka bertahan juga sebab segan. Hingga matahari hampir terbenam mereka mendapat alasan untuk pulang, hari sudah hampir malam. Anak dara sempat menahan Mila untuk menginap, tapi perempuan itu berkata ia ada kuliah esok pagi.
Dan benar sekali kata orang surau, manusia hanya mampu berencana sedangkan Tuhan lah yang mempunyai hak untuk memutuskan. Sepanjang perjalanan pulang Mila yang sudah kelelahan mendadak panas sebab lama tersapu angin. Suli mendadak ketakutan, bukan hanya karena mereka baru bisa pulang ketika hari sudah kelam yang bisa saja mengundang kecurigaan, tapi juga karena Mila yang tiba-tiba tersandar lemas ke punggung Suli. Suli lalu memperlambat laju sepeda motornya, mukanya pucat pasi memikirkan hal-hal yang dapat saja terjadi. Sepanjang jalan ia teringat orang tua, mamak dan kakaknya yang entah berkata apa jika melihat apa yang terjadi. Ia menyesali dirinya yang tak menahan Mila sebelum berangkat.
Dan begitulah hal itu terjadi, orang-orang kampung yang melihat mereka mulai berbisik-bisik. Berbisik dimana sempat mereka berkumpul, entah di lapau, di puskesmas atau bahkan di surau sekalipun. Mereka berbisik perihal Suli yang dikatakan melarikan anak gadis orang. Kedua anak muda yang dituduh itu frustasi saat bisik-bisik itu masih terdengar. Sebenarnya itu tidak terlalu menyakitkan bagi Suli, tapi kakaknya terus-terusan menyalahkan ia mencemari nama baik kaum bahkan menuduhnya telah berbuat dosa besar dengan anak gadis tukang heler itu.
Pada akhirnya kedua belah pihak yang tak bisa berbuat banyak itu memutuskan untuk menikahkan kedua anak muda tersebut. Bukan semata-mata untuk menghapus pandangan buruk orang-orang kampung, namun juga dikarenakan anak gadis pemilik heler itu memang harus ada yang mengikat dan menjaga.
***
Hari sudah beranjak siang, Suli yang duduk terpekur di bawah pohon kelapa beranjak untuk pulang. Ia ingin menunggu istrinya untuk bercerita, menumpahkan segala gundah yang membuat dadanya sesak. Sehari ini saja, sebab besok ia akan kembali bekerja. Suli lalu mengambil langkah pulang. Sementara itu di lapau nasi Ni Sari orang-orang berbisik-bisik tentang Suli yang gundah itu. “Kemarin kunampak kemenakan si Suli dijemput seorang bujang dengan motor besar. Lari motornya cuma tiga puluhan tapi pagutannya ibarat lari seratusan. Ah, tidakkah si Suli mencegah kemenakannya itu. Padahal anak dipangku, kemenakan dibimbing” ujar salah seorang dan yang lain pun menimpali, “barangkali karena dia belum punya anak maka belum berlaku itu mamang”.***
(dimuat di Singgalang Minggu, 26 Februari 2012)
Recent Comments