Sesuatu hal yang biasa memang melihat seorang ikhwah (khususnya ikhwan) berjalan keluar dengan penampilan yang sederhana. Sederhana dengan celana goyang yang kadang digantung melewati mata kaki, dengan baju kemeja atau koko dilengkapi dengan sendal gunung sebagai alas kaki. Pada beberapa ikhwah, ada yang lebih senang memakai sendal jepit untuk berpergian kemana-mana : ke mesjid, rapat, toko buku, warnet, atau pasar dan berbagai tempat lainnya. Banyak alasan mengenai itu, entah itu karena memang lebih nyaman memakainya atau karena kalau hilang ruginya tidak begitu banyak, perihal itu hanya mereka yang tahu.

                Tapi, akan luar biasa apabila ikhwah tersebut bisa menyatu dengan sendal jepitnya, maksudnya bisa mengilhami ‘kehidupan’ sandal jepit itu. Ah, bagaimana hendak menjelaskannya, mungkin ilustrasi dibawah ini akan membantu.

Sendal Jepit dan Kopiah
                Sekarang ini adalah musim hujan, pagi-siang-petang-malam gumpalan awan hitam selalu berarak seolah berpesta, mereka yang bergerombol di langit menurunkan rerintik air meski tanpa diminta. Tik, tik, tik, di atas genteng rerintik air itu berbunyi. Hujan turun tidak terkira, pohon dan kebun dibuatnya basah semua. Tapi sebenarnya, tidak hanya pohon dan kebun yang basah oleh hujan itu, ada satu lagi yang sedang menggigil di beranda, tubuhnya yang sudah rapuh dan koreng itu berkali-kali terjamah hujan, ia adalah sendal jepit.
                Konon, beranda rumah tempat ia berdiam kini adalah rumah kesekian dari rumah yang pernah ia jajaki. Seorang lelaki yang kehilangan sandalnya ketika shalat berjamaah di mesjid membawanya pulang, maka jadilah orang itu tuannya. Tuan yang kesekian dalam riwayat hidupnya.

                Di rumah barunya itu sandal jepit mempunyai seorang teman yaitu kopiah. Kopiah sangat mujur hidupnya, ia selalu di utamakan, ketika dipakai ia selalu diletakkan di atas kepala bukan di kaki seperti halnya sandal jepit. Ketika tidak sedang dipakai pun ia digantung di dinding atau disimpan di atas lemari bukannya dibiarkan tergeletak di teras yang penuh dengan ancaman seperti hujan. Kopiah tidak akan dijadikan roda mobil-mobilan anak-anak atau pelampung jala nelayan. Kopiah sedikit saja berdebu ia akan disikat, tidak seperti dirinya yang dibiarkan saja berlacah, koreng-moreng. Sandal jepit terus-terusan memuji keberuntungan kopiah. Pun begitu, sandal jepit tak pernah sekalipun menyesali dirinya yang terlahir sebagai sendal jepit yang tak mungkin bisa disejajarkan dengan kopiah. Ia ikhlas dengan posisinya, ia istiqomah dengan peranannya, ia tak pernah mencoba lari, bahkan ia tak pernah berdoa pada Tuhan untuk dijadikan hal lain.         

Mengambil Pelajaran Dari Sandal Jepit
                Belajar bisa dari mana saja, belajar dari lingkungan sekitar, belajar dari alam. Semua yang diciptakan Allah tentu selalu ada maksud, ada tujuan dalam penciptaannya. Seperti halnya manusia yang diciptakan untuk mengabdi kepada Allah swt dan menjadi khalifah di bumi cinta Allah.

Belajar bisa dari apa saja termasuk dari sepasang sandal jepit yang apabila dipandang tidaklah begitu berharga. Namun sandal jepit memiliki sifat keteladan bahwa ia adalah pribadi yang ikhlas menerima keadaan, sabar, dan istiqamah menjalankan peranan.

                Alangkah baiknya ketika hal-hal baik dari sandal jepit itu diterapkan dalam kehidupan ikhwah, bahwasanya :

1.       Ikhwah haruslah ikhlas menerima keadaan. Ikhlas menerima amanah yang diberikan kepadanya entah itu qiyadahatau hanya seorang jundi. Ikhwah hendaknya menerima pemosisian dirinya itu dengan tulus hati lalu berbuat sebaik-baiknya untuk itu.

2.       Ikhwah haruslah memiliki sifat sabar. Sabar dengan semua rintangan yang ditemui dalam perjalanan dakwah. Sabar akan cacian, makian, atau sikap-sikap yang tidak baik dari musuh-musuh islam. Menyerahkan diri kepada Allah dan berbuat sebaik-baiknya untuk agama Allah.

3.       Ikhwah haruslah istiqomah menjalankan peranan. Istiqomah memimpin pergerakan apabila ia seorang qiyadah, istiqomah menunjang perjuangan apabila ia seorang jundi. Ikhwah haruslah teguh pada posisinya masing-masing, meski terjadi berbagai hal diluar itu, meski seandainya hanya ia sendiri yang tertinggal dalam sebuah lembaga dakwah sedangkan yang lain pasif.

Jalan dakwah memang bukan jalan yang mudah, bukan jalan yang ditaburi bunga-bunga yang harum, bukan jalan yang diterangi pilar-pilar lampu di pinggiran, ia bukan jalan buat si manja yang sekali tepuk langsung merajuk. Ia adalah jalan yang dipenuhi batu-batu dan dedurian, ia adalah jalan yang sukar dan panjang. Jalan dakwah memerlukan kesabaran dan kemurahan hati, pemberian dan pengorabanan tanpa mengharapkan hasil segera datangnya, tanpa putus asa dan pupus harapan dalam penantian. Dakwah memerlukan kesungguhan dan kerja keras yang terus menerus dan teratur, dan hasilnya terserah kepada Allah sesuai dengan waktu yang dikehendaki-Nya.

Tugas kita sebagai aktivis dakwah hanya berjuang dan meyakini bahwa islam di suatu saat kelak akan bangkit dan memperoleh kejayaannya kembali. Suatu saat Daulah Islamiyahitu akan tegak di bumi cinta ini. Semoga apa-apa yang kita lakukan, berikan dan korbankan untuk tujuan yang mulia itu di balas dengan sebaik-baik alasan oleh Allah swt.

Amiin ya Rabb… Wallahu ‘Alam bi Shawab… Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang tidak makhluk-Nya ketahui.

error: Konten dilindungi