Sudah beberapa kali Adi bolak-balik menuju kamarnya, naik keatas kasur dengan sprei BEN 10-nya, mengambil sebuah cermin bundar lalu memelototi bayangannya. Setelah sekian detik ia kembali meletakkan cermin bundar itu ditempat semula. Berjalan beberapa langkah keluar kamar, namun ditengah jalan keningnya berkerut, ada sesuatu yang mengganjal. Lantas, ia berbalik lagi menuju kamarnya, menaiki kasur bersprei BEN 10-nya teruntuk mengambil cermin bundar itu. Ia kembali memelototi bayangannya di cermin namun kali ini ia mengelus kepalanya.

“pendek kali ni” gumamnya.
Hal yang sama berulang, berkali-kali ia lakukan, setelah lelah cermin bundar itu kini ia geletakkan saja dikasurnya, tidak ditempat semula lagi. Setelah beberapa kali memelototi  bayangannya dicermin itu, ia berlari keluar menuju dapur.
“maa, mamaa! “ teriak bocah itu.
“iya..” sahut ibunya dari dapur.
Tak berapa lama sampailah Adi didapur, langsung saja ia tarik tangan ibunya yang tengah menggoreng ikan asin.
“mama liatlah, Ma!” ujarnya antusias sambil menunjuk kepalanya.
“iya, seperti tentara”
“seperti tentara?”
Adi termangu mencoba mengingat sesuatu, tangan kecilnya berusaha mengenggam rambut tapi tak kunjung berhasil, tukang cukur itu, iya tukang cukur itu tega sekali mencukur pendek rambutnya, pendek sekali hingga tak bisa digenggam.
“oh…” ujarnya sambil menjentikkan jari.
“…tukang cukur itu, Ma! Masa l
rambut Adi dipendekin gini” sesal Adi.
“bukannya kamu yang minta?”
“kapan Ma? Mang ada ya Ma? Ndak ingat tu Ma. Mang Mama masih ingat kapan Adi mintak botakin kayak gini?”
                Ibunya tak menjawab sebab tengah sibuk nyemplungin ikan asin kelautan panas minyak goreng. Tentu cemberutlah bocah itu.
“Mama dzalimi Adi, Mama cuekin Adi!” rajuknya.
                Ibunya menyeringai mendengar ucapan anaknya itu.
“eh, eh, siapa yang ajarin anak Mama ngomong gitu?”
                Adi hanya diam.
“ya sudah, kemaren kan Adi yang minta agar pas pawai nanti benar-benar seperti tentara, Adi lupa?”
“oh, iya, seperti tentara”
Adi baru teringat perihal keinginannya tampil bak tentara di pawai TK. Ia berlari lagi menuju kamarnya, menaiki kasur bersprei BEN 10 itu tentu untuk sebuah cermin bundar yang tengah tergeletak diatasnya. Lalu, ia pandangi bayangannya, lebih lama. Sejenak kemudian keningnya berkerut.
Cermin bundar itu kini tergeletak lagi diatas kasur itu. Adi telah berlari kembali menuju dapur, menemui ibunya yang asik memandikan ikan asin dikolam minyak panas.
“aku mau dipanjangin lagi rambutnya” tuntut Adi tiba-tiba.
“kok gitu, kan mau seperti tentara?” heran ibunya.
“mama tau ndak, rambut itu harusnya disayang lho”
“disayang gimana sih, Adi? Ada-ada ja lah”
“iya, sebab cuma rambut yang bela kita saat ditanya ma malaikat Mungkar dan Nangkir, kata ibu guru sih gitu ma”
“jadi apa hubungannya?” tanya ibunya yang mulai menggaruk kepala.
“Ada. Nanti si rambut malah ndak bela Adi, si rambut bakal berkata gini, hukum aja Pak Malaikat, hukum aja Adi ini, dia ndak sayang ma aku, dia tega botakin aku. Aku kan malu ma rambut orang lain” jelas Adi serius.
“Adi ada aja lah, main ja sana, mama lagi masak ini” pinta ibunya dengan wajah yang memerah menahan tawa.
error: Konten dilindungi