Ada satu lelucon yang agaknya lucu, sesuatu yang sebenarnya membuat saya cukup miris tapi ya memang begitu adanya. Konon ada perbedaan antara pegawai, relawan dan aktivis kampus. Pegawai bekerja, ia dibayar. Relawan bekerja, ia tidak dibayar. Nah kalau aktivis kampus? Ia bekerja, ia justru membayar. Lah, gimana ceritanya? Nanti akan saya ceritakan. Namun fakta lainnya adalah banyak aktivis yang kemudian muntaber (mundur tanpa berita) karena merasa ia tidak mendapatkan manfaat dari kontribusinya. Ah, itu mah mungkin karena mereka belum membaca saja artikel blogger parenting tentang jenis manusia dalam organisasi.
“Makanya, baca duluuuu” kataku pada diriku sendiri.
Oh ya, ngomong-ngomong, apakah kamu adalah seorang aktivis? Aktivis kampus, organisasi kepemudaan atau apa pun. Jika iya, tentu saja kamu sudah paham betul asam-garam dunia per-aktivis-an, bukan?
Cerita Saya Saat Jadi Aktivis Dahulu
Jika membuka kembali lembaran lama, saya ketika SMA adalah seorang yang kurang pergaulannya. Lingkaran pertemanan saya hanya sedikit. Kalau lah bukan teman satu kelas, ya teman satu warnet. Yap, warnet. Ketika SMA saya adalah anak warnet. Kebetulan keluarga sepupu jauh punya warnet tempat saya bisa “landing” setelah pulang sekolah.
Jadi, ketika ada teman menawarkan saya untuk bergabung ke OSIS, saya benar-benar tidak punya alasan masuk OSIS yang kuat. “Ngapain juga masuk OSIS, cuma menambah-nambah kerjaan dan bikin jam pulang lebih lama” pikir saya waktu itu. Padahal ke warnet pun juga bikin jam pulang lebih lama ya–mana menghabiskan uang saku juga.
Alhasil, semasa SMA saya tidak begitu aktif mengikuti organisasi–kecuali Karya Ilmiah dan Jurnalistik (KIR) yang memang hobi saya di sana dan tempat itu cocok untuk para introvert.
Tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, ketika masuk kampus saya mulai berbenah. Saya menanamkan niat dalam diri sendiri bahwa saya harus berubah. Mau tidak mau saya harus belajar bersosialisasi dan sederet soft skill lainnya. Itu saya mulai dengan masuk organisasi kampus tingkat fakultas dulu. Saya bergabung di Forum Studi Islam (FSI) di fakultas saya dan ditempatkan di Biro Jurnalistik.
Hari-hari pun berlalu, organisasi kampus dan ekstra kampus yang saya ikuti mulai beragam, namun tugas saya rata-rata sama, yaitu berkutat di bidang media. Suka dukanya jadi aktivis kampus itu cukup banyak, terutama ketika uang kita kerap habis untuk menyelenggarakan agenda organisasi, sudahlah capek kerja kita juga diminta patungan membiayai kegiatan. Tapi siapa sangka, praktisi media yang notabene orang belakang layar, yang dulunya selalu mengalami gempa lokal saat tampil di hadapan orang lain, bisa menjadi seorang pembicara yang aktif. Saya tak sempat menghitungnya, tapi agaknya sudah puluhan-ratusan sesi diskusi, pelatihan dan lainnya telah saya isi–meski kebanyakan tentang media atau seputar kampus.
Berbagai Jerih Payah Itu Kini Mulai Menuai Hasil
Saya tak pernah menyangka jika apa yang dulu saya pelajari dengan “terpaksa” kini membuahkan hasil yang sangat saya syukuri. Alhamdulillah. Sebagai contoh kemampuan menulis, sampai sekarang saya sudah mengumpulkan uang hingga puluhan juta dari menulis itu. Begitu juga dengan kemampuan desain grafis yang juga memberikan banyak manfaat.
Tak seperti saya waktu SMA dulu yang takut diminta maju–untuk membaca puisi–di depan kelas, kini saya berani berbicara di depan ratusan orang. Memang benar belaka kata pepatah, siapa yang menanam dia akan menuai. Pepatah itu berlaku baik untuk hal baik atau pun hal buruk. Hari ini mungkin kita tak merasakan manfaat yang cukup berarti dari apa yang kita lakukan, tapi setiap kebaikan akan tumbuh dan berbuah di kemudian hari.
Saya percaya itu, bagaimana dengan kamu?
Tak Usah Mengharap Balasan, Berkontribusi Saja Dulu
Dan, apakah kamu adalah seseorang yang sedang tergabung dalam sebuah organisasi? Organisasi apapun, baik komersil atau sosial. Percayalah, ketergabungan kamu di sana sekarang adalah kesempatan atau peluang yang bisa mendatangkan manfaat jika kamu menyadarinya.
Di dalam organisasi, kamu mungkin akan dituntut untuk banyak bekerja. Ia bahkan menyita waktu dan pikiranmu. Kamu juga mungkin akan diperintah oleh seseorang yang secara umur mungkin lebih muda darimu. Tapi sebelum menjadi pemimpin yang baik, kita perlu menjadi baik saat dipimpin, bukan?
Ada satu konsep yang menarik dalam artikel yang saya sebutkan di awal tulisan tadi. Itu adalah konsep level manusia dalam organisasi. Konon ada 4 level manusia dalam organisasi itu. Level 1 adalah mereka yang menyebalkan yang mementingkan dirinya sendiri. Lalu level 2, mereka yang sudah mulai memikirkan untuk berbuat baik bagi keluarga dan orang terdekatnya. Nah kalau level 3 itu mereka yang sudah melakukan kontribusi pada orang-orang di sekitarnya meskipun masih perlu diminta. Sedangkan level 4, yang hendaknya jadi target kita, adalah manusia yang berbuat tidak hanya untuk dirinya tetapi juga keluarga dan lingkungannya.
Kamu bisa memilih mau menjadi manusia level berapa, hanya saja kita tidak boleh lupa bahwa manusia terlahir sebagai makhluk sosial. Dalam hidupnya, manusia membutuhkan manusia lainnya. Karena manusia adalah makhluk sosial, ia butuh untuk berada di dalam sebuah organisasi. Tak perlu jauh-jauh hingga organisasi taraf nasional atau apa, kita sudah berada di organisasi skala terkecil yaitu keluarga.
Oleh karena itu, mulai saat ini marilah berpikir bagaimana kita bisa memberikan kontribusi, bagaimana kita bisa menjadi bermanfaat di dalam organisasi tempat kita bernaung. Soal balasan kebaikan atau kontribusi itu, percayalah bahwa cepat atau lambat kita akan mendapatkannya. Pun jika bukan manusia yang membalas, ingatlah bahwa Tuhan Yang Maha Esa akan membalas setiap kebaikan kita meskipun hanya sekecil biji sawi besarnya.[]
Sama dong Uda. Waktu SMA juga ikutan KIR meski akhirnya lebih banyak ngikutin jurnalistiknya sampai jadi tim khusus untuk ngurusin mading sekolah. Justru waktu kuliah, ipeh malah melempem ga ikut apa-apa. Udah capek sama mikir takut lebih condong ngurus organisasi. Jadi inget, iya yaa kalo ikutan gini emang banyak manfaatnya. Sekarang lebih sering ikutan komunitas bebas sebagai pembaca buku sama blogger aja.
Wah keren, ngurusin mading itu susah-susah gampang ya Mbak. Mulai dari cari konten sampai ke desainnya. Saya sekarang masih aktif di komunitas kepenulisan sih, untuk jaga semangat menulis.
Nah, konsep yang terakhir saya setuju. Berkontribusi saja dulu, kebaikan akan datang mengikuti.
Berbeda terbalik kita ya Uda Fadli. Saat SMA saya malah jadi ketua ekskul. Pulang sore itu mah kecepetan.. hihihi sering pulang malam masih pake baju SMA.
Tapi begitu kuliah, saya mundur untuk ikut organisasi. Bukan apa-apa, saat itu saya menulis target kuliah 3,5 tahun saja, karena ibu cuma memberi uang kuliah di tahun pertama. Selanjutnya saya bayar uang kuliah sendiri. Ibu cuma memberi ongkos kuliah saja.. hehehe.
padahal kalau masuk osis itu keren banget sih pada masanya dulu hahaha nilai plus plusnya banyak banget. Btw pengalaman uda dari ngeblog daebak… Dikumpulin bisa buat umroh ya uda, jadi ikutan semangat ah
Berasa muda lagi abis baca artikel Uda Fadli. Hehehe. Jadi ingat kenangan berorganisasi dahulu, waktu masih pakai putih abu atau pakai jaket mahasiswa.
Betul sekali pengalaman organisasi akan membentuk pribadi yg bertanggung jawab dan memperluas jejaring. Biasanya orang yg aktif berorganisasi sukses menjadi pemimpin di masyarakat ya kak
Sepakat.. Berikut tentang kontribusi apa yg bisa kita berikan.
Keren ya, aku waktu sekolah gak pernah aktif di organisasi karena egois tapi organisasi itu penting untuk melatih kerjasama team
saya pun dari kuliah senang banget ikut organisasi, kuliah senangnya bukan belajarnya tapi fokus ikut organisasi dan kepanitiaan. untuk kuliah tetap lulus tepat waktu gak jadi mahasiswa abadi, jadi kangen masa-masa ituuu.
Perilaku kita selalu ada balasannya, baik atau buruk
Uda Fadli keren banget, jadi menginspirasi buat terus nulis 😎
Setelah baca ini jadi ingat masa masa dulu yang masih aktif untuk oranisasi sekolah, organisasi itu membuat saya mempunyai pengalaman yang lebih asik dan seru.
Jadi ingat masa-masa aktif berorganisasi waktu tahun pertama di kampus. Benar banget selain tidak dibayar, yang ada malah disuruh beli tiket biar cepat laku. Tapi saya tetap senang karena banyak dapat ilmu dan pengalaman dari kegiatan tersebut.
Setuju banget, karena ikut organisasi itu mengasah skill yang berguna sampai sekarang.
Dulu saya juga ikut UKM majalah kampus, yang kalo dipikir-pikir saya lebih banyak dapat pengetahuan di UKM daripada di kelas. Selain itu juga nambah link juga
Hahaha istilahnya boleh juga : muntaber..Banyak emang yang seperti itu di dunia organisasi karena memang kerja militan, tapi ga dibayar. Anyway, di masa mahasiswa sebaiknya memang banyak belajar dari berorganisasi untuk menempa mental dan membangun relasi dngan banyak org.
Aku sejak SD sampe SMA aktif dinorganisasi sekolah. Bahkan pernah jd ketua OSIS. Tp pas kuliah organisasi apa pun gak kutekuni. Serasa pengen istirahat dr dunia organisasi saat itu.
Tp benar, poin berkontribusi tanpa mengharap balas itu penting sekali di tanamkan dalam2 di lubuk jiwa.
sukarelawan, gak suka melawan 😀 iya mas ada banya manfaat gabung di organisasi, kadang terbawa ke rumah tangga, trus sadar lah gua kan binik kenapa jadi superior gini, akhirnya mundur, sekarang udah jauh lebih baik lah daripada awal menikah dulu wkwkw
Noted Da. Siapa tahu kelak masih berkesempatan ikut gabung komunitas lagi. Kalo dulu, saya ikut di FLP HK, mottonya “Hidupi organisasi, bukan mencari kehidupan di organisasi”