(Ini cerpen lama saya, ketika mulai menggeluti dunia kepenulisan, pada saat itu saya merasa ini sudah bagus-bagus sangat cerpennya, nyatanya kalau dibaca lagi jadi malu.)

Apalah sebagian dari mereka yang lebih tua itu, adalah mereka yang hingar bingar, bak singa lapar yang mengamuk tatkala tak ada mangsa. Ada pula yang belagak kritis, mengkritik dan mengkritik hanya itu yang mereka bisa. Lain lagi yang diam, membatu tak bergerak, matanya terus menari-nari mengapresiasi, hanya memperhatikan tak mengambil tindakan.
            Lalu lihatlah para penerus,  pandanglah setiap pasang mata mereka, adalah mereka yang mempertihatikan kalian, mereka adik, anak, serta merta cucu kalian, yang menjadikan kalian panutan. Jelas mereka sangat bangga dan berdecak kagum hingga memuja kala angin membawa sepucuk kabar keberhasilan. Dan mereka yang begitu kecewa kala burung mengabarkan kegagalan, keterpurukan, keanarkisan, bahkan kebodohan yang sengaja atau tidak sengaja atas kalian.
            Tataplah barang sejenak pasang-pasang mata mereka. Lalu menyelamlah, adalah jelas guratan kekecewaan yang akan kalian dapati dalam hati mereka. Hati mereka yang tak ubahnya adalah bagian dari hati kalian, hati yang rapuh dan kini megerut-menciut, menunggu saat dimana ia akan larut dalam kesedihan, oh bukan, mungkin kebencian. Ah, detik waktu menghitung mundur, akan saat mereka tak lagi punya hati untuk merasa.
            Kini, mereka (para penerus) berjejer diatas tanah negeri ini dikala langit mulai memerah. Sedari fajar terbit hingga terbenam pula. Pernahkah barang sekali terbayang oleh kalian atas itu.

***
            Adakah sedikit cahaya bagi para penerus? Bagi mereka yang terlanjur telah terjerumus. Tatkala mereka meronta, menerkam menyedihkan, tatkala mereka bergejolak ria dalam gelapnya malam, dibawah redup lampu berwarna-warni yang remang-remang.
“hidup itu indah!” teriak salah seorang dari mereka.
            Sementara dipojok ruangan, dibalik pilar-pilar yang berdiri angkuh sebagian dari mereka memuai di angkasa, terbang melayang dengan bantuan serbuk-serbuk serta merta pil-pil kedaluarsa dan jarum-jarum bekas itu.
“aku bebas melayang, hidup ini taklah berat” ucap salah satu lirih.
            Ah, tahukah kalian para yang lebih tua. Bersyukur malaikat menemukan sedikit dari begitu banyak kalian yang menatap pilu semua itu. Berdoa haru pada Tuhan bagi penerus, dan bertindak didalam kuasa.
            Lalu, sebagian dari temanku kemarin masuk kedalam media massa ataupun elektronik. Sungguh hebat bukan? Mereka berkodak dengan pose terbaik mereka, terkapar berdarah, mati. Oh ya, wajah mereka tak menyunggingkan senyum, hanya tersirat gambaran amarah dari wajah-wajah itu serta merta kebencian didalamnya. Dan tahukah kalian sesiapa mereka yang hebat itu? Adalah temanku, teman seperjuanganku, teman yang memakai seragam putih abu-abu sepertiku. Adalah mereka yang kemarin mati karena tawuran antar sesama pelajar. Adalah adik, anak, atau cucu kalian.
“Ah, seragam putih abu-abu, apa mungkin akan kupakai lagi?” batinku.
***
            Sungguh ringan kiranya kalian berucap. Menyalahkan mereka atas semua yang telah tertancap dalam keadaan yang memaksa ini, keadaan yang jelas tak seperti dulu. Barangkali keberanian telah terperangkap oleh fatamorgana dunia. Perihal kekayaan, kedudukan, kehormatan, martabat, ntah apalah itu. Sekiranya itu-itu yang kalian banggakan selama ini, membutakan atas musuh yang menyelinap maka termanfaatkanlah kalian.
“mereka yang tak mau diatur, mereka yang binal dan tak tentu arah”
Jelas hatiku mengutuki kalian atas perkataan itu, barangkali kalian memang tak mengerti dengan mereka, dengan kami.
Ah, apa perlu aku membangunkan teman-temanku yang jasadnya telah menyatu dengan tanah itu. Ataukah mengajak mereka yang masih bernyawa untuk membantah pernyataan itu, hanyalah sia-sia karena sebagian dari mereka yang masih hidup itu juga telah mati. Hati dan pikirannya yang telah mati tatkala hidup menunjukkan jalan yang salah. Biarlah aku yang mewakili mereka untuk sejenak membela diri, untuk mengatakan kalian yang salah.
            Bukanlah mereka yang tak mau diatur, bukan aturan yang mereka butuhkan namun perhatian. Pernahkah kalian benar-benar memperhatikan mereka, menegur setiap kejanggalan yang mereka pelajari, menghargai setiap kebenaran yang mereka dapati. Apa pernah pula kalian memberi contoh yang baik kepada mereka yang termasuk kami dalam golongannya. Sungguh, malaikat telah bersyukur atas sebagian kecil dari kalian yang seperti itu.
 Lihatlah barang sejenak sebagian kecil dari kalian yang malaikat bersyukur atasnya. Sebagian dari kalian yang kini berjejer bersama kami. Mereka yang merasa bertanggung jawab atas kami. Mereka yang masih mempunyai hati dan keberanian. Lihatlah perjuangan kami, tatkala kami mati dalam perjuangan ini kami akan bangga karena darah itu tumpah di tanah air ini, tanah tumpah darah kami.
***
            Fajar mulai menampakkan sinarnya, sedang kami mulai menyembunyikan diri. Jauh didepan sana binatang-binatang besi berbaris menantang. Jauh lagi didepan sana, golongan tua dari mereka tengah menyunggingkan senyum dengan sombong.
“kau siap Fan?” tanya seorang temanku.
“aku siap untuk segala kemungkinan hidup atau mati, jalan ini sudah dipilihkan”
“bulatkan tekadmu!”
“tentulah sobat, komandokan setiap komandan bersiaga, tak ada tentara disini. Hanya ada kita penerus yang menantang mati dan sedikit dari tetua yang terpilih!!”
            Ia beranjak kedepan menaiki batu besar dan berseru sekencang mungkin.
“angkat semua senjata kalian! Jangan takut menumpahkan darah di tanah tumpah darah ini!”
“ya!!” semuanya berseru serentak.
“jihad fisabilillah!!”
“yaa!!” semuanya berseru lagi.
“mantapkan hatimu, berdoalah pada Tuhanmu untuk masa depan yang gemilang”
            Tanpa kusadari bulir-bulir air nan bening terjun bebas dari sepasang mataku. Inikah akhirnya? Atau inikah awalnya? Ah, yang kutahu inilah perjuangan kami.
“mereka datang!” seru temanku tadi.
“bala.. bala, bala!” ucapku.
“bersiap Fan” ingatnya.
“bala tentaramu, hanya bala bagi kami” umpatku.
            Gemeletup senapan bermeriahan disana sini, dzikir, teriakan, seruan, serta merta umpatan bergemuruh silih berganti. Tatkala musuh melancarkan serangan, tatkala langit memerah karena ledakan-ledakan.
“inikah?” batinku.
            Ku menatap mereka yang telah tumbang, bergelimang darah, pula musuh itu yang terus berjatuhan. Ini tanah airku, ini tumpah darahku. Barulah aku menyadari sesulit apa para pahlawan 3 abad yang lalu memperoleh kemerdekaan. Tentulah sangat sulit dengan persenjataan yang tak memadai. Jelas tak seperti sekarang dimana peralatan perang sungguh canggih. Ah, aku mengingat, adalah aku yang malas upacara ketika senin pagi dengan seragam putih abu-abu itu, seragam yang mungkin takkan pernah kupakai lagi.
“jihad fisabilillah kawan!! Pukul mundur para kafir itu!” seruku menggelegar.
***
            Beralih sudah mentari ke ufuk barat, tatkala ia hendak bersembunyi. Langit memerah indah sementara perang belum juga berakhir. Ribuan jasad terkapar seluas medan perang. Banyak diantara kami yang telah tak bernyawa, pula musuh yang kekuatannya semakin berkurang.
            Lalu, lihatlah oleh kalian yang lebih tua, yang bersembunyi dibalik duka kami. Lihatlah wajah-wajah yang tersenyum itu, daripada kalian yang sebentar lagi mati karena ketakutan. Benar ini salah kalian.
“ini salah kalian!”
            Perihal kalian yang hingar bingar, mengumpati, menenggelamkan perdamaian. Kalian yang menjilat musuh, mengagung-angungkan mereka. Atau kalian yang memang tak tau siapa musuh. Atau mungkin memang dipihak musuh. Ah!
            Lalu, kalian yang sok kritis, kalian yang mengkritiki pemerintahan yang pada saat itu. Bangkitlah dari tanah, lihat pertumpahan darah ini! Takkah terpikirkan pada saat itu oleh kalian akan hal ini. Aku hanya prihatin tak memihak, perihal umpatan, keluhan dan segala macam yang ditudingkan pada pemerintahan.
            Pula kalian yang hanya diam memperhatikan tak mengambil tindakan. Bukanlah emas diam itu, bukanlah diam yang menambah kekayaan itu. Sekiranya diam itu hanya membuat akhir menjadi tak menentu.
            Ah, malangnya teman-temanku. Malangnya mereka mempunyai panutan seperti kalian. Tak barang sedikitpun perhatian itu mereka dapati, tak sedikit pun kebanggaan yang membuat hati mereka mengembang, bukan mengerut-menciut. Hanya perhatian itu yang mampu menuntun mereka dalam hidup, benar hanya perhatian itu yang mencegah hidup menunjukkan jalan yang salah pada mereka.
“kami para penerus butuh perhatian!”
            Ah, ya sudahlah. Tentu kalian pun takkan bertahan hidup dalam ketakutan. Tentu kalian tak mendapat kesempatan itu. Pun dapat, pada siapa perhatian itu dicurahkan kala sebagian besar penerus telah mati di medan perang.
            Oh ya, tak usah khawatir pula kalian. Hatiku dan hati mereka yang telah mati meyakini bahwa masa depan cemerlang akan datang. Tentu setelah pembersihan manusia-manusia tak berhati. Para penerus yang masih tersisa itulah yang akan membangun peradaban baru. Mereka yang masih tersisa itulah yang akan mewakiliku.
            Bala, bala tentara itu merebut kesempatanku untuk berbagi perhatian. Bala tentara mereka itu membuatku harus berhenti disini. Tak apa mereka mematikan satu hati sementara hati-hati yang lapang masih tersisa dibumi ini.
“sobat, maafkan aku” ucapku padanya.
Dia yang tengah menembaki bala tentara itu memelukku yang bergelimang darah.
“bertahanlah, medis akan datang”
“sudahlah, aku tak menyesal”
“diam kau Taufan!!”
            Ia peluk aku, erat, seraya berteriak memanggil medis.
“sudahlah sobat, lanjutan perjuanganku, berjanjilah”
“aku berjanji”
            Sejenak setelah itu medis datang, namun apalah arti sementara aku telah mati karena bala dari bala tentara itu. Diujung nafasku aku tersenyum bangga, tentu akan darah yang telah kutumpahkan di tanah air ini, tanah tumpah darah ini. Pula akan teman-temanku yang bernasib sama denganku atau yang masih memilik hati yang hidup.
“jihad fisabilillah”
            Dan malaikat-malaikat itu bersyukur atas kami yang berhati mulia. Dipanjatkannya doa pada Sang Khaliq untuk kemenangan dalam pertempuran ini. Untuk awal perabadan yang lebih beradab dari para penerus yang tersisa.
Padang, Oktober 2010
error: Konten dilindungi