Dua puluh lima tahun hidup di lingkungan mayoritas dan pada suatu ketika harus berkunjung ke tempat di mana kamu menjadi “orang asing” tentu saja akan memberikan pengalaman yang benar-benar beda. Hal itulah yang saya rasakan selama 5 hari saya mengunjungi Pulau Dewata beberapa waktu yang lalu.
Sumatera Barat adalah ranah yang dipenuhi oleh masyarakat muslim, toh falsafat adatnya saja kental dengan syarak atau agama. Sehingga, setiap anak keturunan Minang adalah seorang muslim dari awalnya. Dengan kondisi yang seperti itu, menemukan rumah ibadah orang Islam di ranah ini adalah hal yang sangat mudah. Baik mesjid ataupun mushalla, menjamur di mana-mana. Bahkan ada pula yang hanya dibatasi oleh jalan saja.
Tapi tidak di tempat itu, pasalnya di Bali muslim adalah minoritas, sementara yang mayoritasnya adalah Hindu. Berbeda dengan Sumbar, dengan masyarakat yang mayoritas berkepercayaan Hindu maka yang sangat mudah dicari adalah pura. Satu pura ke pura yang lain hanya berjarak sedikit saja. Sementara mesjid yang satu dengan mesjid lainnya berjarak kilometer. Dan letaknya terkadang tersembunyi sehingga membuat saya tersesat ketika mencari.
Jadi Jarang Sholat Berjamaah ke Mesjid
Lima hari di Bali saya benar-benar merasa kering. Di Padang, mushalla hanya berjarak kurang dari 50 meter dari tempat saya tinggal, sementara di Bali mesjid terdekat berjarak sekitar 2-3 kilometer dari tempat saya menginap. Kalau di Padang, alhamdulillah, terbiasa shalat berjamaah di mesjid/mushalla, di Bali saya hanya shalat di kamar penginapan saja. Hanya ketika saya dan teman berkesempatan untuk menyewa sepeda motor kami putuskan untuk mencari mesjid dengan bantuan Google Map.
Sekali dua kali kami mampir ke mesjid untuk shalat berjamaah dan masyaa Allah parkiran mesjid sangat penuh. Jamaahnya banyak. Beberapa jamaah bahkan tampak benar-benar menyiapkan diri untuk shalat berjamaah ke mesjid—dari atributnya yang menggunakan gamis, koko, sarung, lengkap dengan peci. Selepas shalat berjamaah, banyak dari mereka yang bertahan di mesjid. Membaca Qur’an atau berdiskusi—sesuatu yang jarang saya temukan di Padang. Barangkali karena keberadaan umat muslim di sana yang minoritas—ditambah dengan besarnya godaan pandangan dan segala macamnya di sana—membuat mereka lebih bersahaja. Lebih dekat kepada Allah dibanding umat yang hidup dan tumbuh di daerah yang bisa dikatakan “aman”.
Satu hal menarik lainnya adalah penuturan dari seorang teman saya mengenai persaudaraan muslim di sana. Ketika itu beliau berkunjung ke Bali tepat pada waktu Idul Adha. Beliau yang pelancong di Bali tentu bingung harus melaksanakan sunnah shalat id di mana. Tapi alhamdulillah pada akhirnya ia dijemput. Dijemput oleh jamaah yang berkeliling ke hotel-hotel untuk mengajak saudara seimannya menggelar shalat id bersama. (dituturkan oleh narasumber, Pak Een Tonadi)
Baca juga : 7 Nasyid Terbaik yang Paling Sering Saya Putar
Nangis di Satu-satunya Mesjid di Ubud
Ubud adalah salah satu destinasi wisata yang sangat direkomendasikan untuk dikunjungi oleh pelancong. Oleh karena itu saya dan dua orang teman saya memutuskan untuk pergi melihat-lihat ke sana. Ubud termasuk daerah dataran tinggi. Selain itu daerahnya asri dan hijau. Ketika waktu zuhur telah masuk saya dan teman-teman memutuskan untuk mencari mesjid. Lantaran tidak tahu wilayah sekitar, saya membuka Google Map dengan lebih dahulu searching di Google mengenai mesjid di Ubud. Alhasil kami hanya menemukan satu buah mesjid yang merupakan satu-satunya mesjid di daerah itu, namanya Mesjid Ubudiyah yang awalnya adalah mushalla yang didirikan sebuah yayasan.
GPS saya aktifkan, sebagai seorang navigator sama mengarahkan teman saya yang mengendarai motor untuk menyisiri jalanan Ubud demi mencari mesjid tersebut, ketika GPS sudah menunjukkan kami telah dekat di lokasi namun kami sama sekali tidak melihat plang mesjid. Tidak juga menemukan kubah mesjid. Akhirnya kami memutar beberapa kali untuk memastikan apakah terlewat atau bagaimana, tapi tidak juga ada tanda-tanda keberadaan sebuah mesjid.
Saat itu, kami sempat berpikiran untuk shalat di mushalla SPBU saja, tapi apa hendak di kata, tak seperti di Sumbar yang hampir semua SPBU ada mushallanya, di Bali justru tidak ada. Cemas karena takut tidak mendapatkan tempat shalat saya cek kembali gadget saya. Saya lihat foto-foto yang disertakan di lokasi itu. Yang ada di foto itu adalah rumah besar. Lantas kami putuskan untuk masuk ke rumah itu dan mencari-cari di mana sekiranya mesjid itu.
Seorang perempuan berjilbab yang sepertinya sudah berumur separuh baya lebih keluar dari rumah itu dan menanyakan apa gerangan kami kebingungan di rumahnya. Ketika kami sampaikan keadaannya, si Ibu bilang kalau yang kami masuki itu adalah rumahnya, bukan mesjid.
Malu. Benar-benar malu. Lalu minta maaf berulang-ulang lantaran sudah sempat nyasar ke dapur rumah itu segala. Syukurlah si Ibu tidak mempermasalahkannya karena memang sudah banyak yang nyasar seperti itu juga. Dan oleh beliau kemudian kami diantar menuju mesjid yang ternyata terletak di luar pagar rumah beliau. Di balik tembok pagar yang tingginya hampir 2 meter. Kami harus melalui gang sempit antar pagar untuk bisa sampai ke mesjid itu.
Alhamdulillah, ada rahasia bahagia dan haru yang membuncah di hati saya. Terlebih ketika melihat adik-adik MDA yang berpakaian rapi dan amat patuh (tidak seperti adik-adik MDA di kampung dan sekitar tempat saya tinggal yang bandel dan ribut).
Setelah mengambil wudhu saya pun shalat. Kami bertiga shalat berjamaah dan saya imamnya. Ketika sedang mengimami shalat perasaan haru itu semakin membuncah yang kemudian memaksa air mata membasahi pipi saya. Saat itu benar-benar terasa bahwa selama ini saya telah hidup di lingkungan mayoritas muslim tapi terkadang masih berat untuk ke mesjid yang padahal dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki. Di Bali, kami benar-benar harus berjuang dan berniat yang kuat jika ingin melaksanakan shalat di mesjid. Sebuah perjuangan yang sulit yang membuat saya sadar bahwa selama ini saya masih kurang pandai dalam bersyukur.
Recent Comments