Sudah dari dulunya pemuda diramalkan menjadi penerus bangsa-bangsa, mereka terlahir sebagai tonggak peradaban. Pemuda memiliki semangat dan tenaga yang cukup untuk menggerakkan hingga mengubah suatu peradaban. Sejarah sudah mencatat sekian banyak pemuda yang telah menorehkan tinta emas hikayat perjuangannya. Dikenang ataupun tidak dikenang, kita yang hidup di zaman ini tidak bisa sedikitpun membantah fakta sejarah bahwa negeri ini pun dibawa merdeka oleh pemuda-pemuda yang teguh. Ada sederet nama yang tidak mungkin kita lupa seperti Soekarno, Hatta, Bung Tomo dan sekian nama lainnya. Kitapun akrab dengan perkataan salah satunya tentang hebatnya pemuda, bahwa cukup dengan 10 pemuda saja untuk membuat dunia tergoncang. Hanya saja, jika perkataan legendaris itu dibawa ke zaman saat ini, apakah ia masih relevan?
Sumber gambar |
Sudah dari dulunya pemuda mengisi berbagai pos dalam lingkungan masyarakat, mereka serba bisa, pun jika ada yang kurang dari pemuda ini hal itu hanyalah pengalaman. Namun pengalamanpun bukan bakat ekslusif yang tidak bisa dicari, pengalaman sederhananya adalah cerita yang dibawa waktu. Maka seiring waktu berlalu ia akan berada dalam genggaman.
Berbagai pos dalam masyarakat yang disebutkan pada kalimat sebelumnya itu, salah satunya adalah mahasiswa. Mahasiswa adalah pemuda yang terpelajar dan dibekali dengan kemampuan serta pola pikir yang mumpuni demi mengantarkan mereka menyabet gelar agent of change, iron stock dan problem solver. Mahasiswa adalah bagian dari kalangan intelektual yang (harusnya) suaranya didengar, tindakannya adalah benar dan jika mereka marah maka siapapun akan gentar.
Memahami fungsi mahasiswa dan jati diri mereka sebagai pemuda
Barangkali kita sering mendengar bahwa periode emas kehidupan seseorang adalah masa mudanya. Di masa muda, seseorang masih memiliki energi dan semangat yang tinggi. Anak muda dengan gayanya yang easy going masih belum teracuni masalah-masalah pelik kehidupan orang-orang tua. Langkah kakinya masih ringan, suaranya masih lantang, otaknya masih kuat untuk berpikir. Ketiga modal yang kemudian memberi pemuda (mahasiswa) peluang untuk menjadi agen perubahan (agent of change). Di genggaman tangan-tangan mereka ada bibit-bibit perubahan yang siap untuk ditanam. Bibit-bibit yang kemudian dipupuk dengan piyuhan peluh perjuangan. Bibit yang kemudian tumbuh menantang matahari untuk membuktikan dan mengatakan: inilah hasil perjuangan kami. Ketiga modal tadi kemudian memberikan mereka peluang untuk menjadi pemecah masalah (problem solver), dengan intelektualitas yang dimiliki mahasiswa, pula pola pikir kritis nan terasah tidak ada masalah yang tidak bisa mereka mamah. Saat seorang mahasiswa pulang ke daerahnya adalah kewajiban baginya untuk memecahkan permasalahan keluarga dan masyarakat di daerah tinggalnya itu. Hal itu merupakan tanggung jawab sosial mereka sebagai iron stock yang bila masanya tiba mereka akan mengambil alih posisi-posisi orang-orang terdahulu di pemerintahan atau di manapun juga.
Uraian mengenai fungsi mahasiswa di atas sudah menjadi blue print atau cetak biru yang sampai kapanpun tidak akan pernah bisa diamandemen. Hal-hal tadi menjadi jalur perjalanan mereka yang mesti diikuti agar tidak dicap sebagai mahasiswa yang lupa diri. Lalu muncul pertanyaan, apakah teori itu masih relevan untuk keadaan saat ini? Sebelum mempertanyakan hal tersebut kenapa tidak bertanya “apakah saya termasuk sebagai mahasiswa yang lupa diri?”.
Lingkaran setan itu hanya tinggal cerita
Seorang penyair Indonesia kenamaan, Taufik Ismail, pernah menggubah sebuah puisi yang berjudul Takut 66, Takut 98 yang menceritakan tentang “lingkaran setan” mahasiswa kontra presiden, berkaitan dengan masifnya gerakan mahasiswa pada tahun 1998 yang berhasil meruntuhkan rezim Orde Baru dan kediktatoran pemerintah saat itu. Peristiwa yang menjadi kisah besar pergerakan mahasiswa tanah air yang masih diagung-agungkan oleh mahasiswa zaman ini meskipun mereka paham bahwa peristiwa tersebut tidak akan mungkin terulang.
Taufik Ismail dalam puisi Takut 66, Takut 98 menuliskan secara gamblang lingkaran setan yang didominasi dengan kata “takut” itu.
Takut 66, Takut 98
Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada dekan
Dekan takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada mahasiswa
1998
Semua pelaku dalam puisi tersebut memainkan peranan dalam sebuah siklus/lingkaran yang, dalam konteks kekinian, sudah diragukan keabsahannya. Ini bukan argumen asal semata tapi rasanya kita bisa menilai di lapangan, di kampus kita masing-masing bahwa mahasiswa zaman ini tidak takut (hormat) lagi dengan dosen dan rantai-rantai di atas yang bermasalah. Kita sudah lihat bahwa presiden tidak takut lagi pada mahasiswa. Aksi besar-besaran mahasiswa 28 Oktober lalu bahkan tidak berhasil membuat media-media kenamaan tertarik untuk meliput. Pergerakan-pergerakan mahasiswa saat ini hanya dipandang sebelah mata dan tidak jarang diberitakan dan dimaknai negatif. Pahit untuk mengakui bahwa turun ke jalan itu sama sekali bukan tren kekinian, tren kekinian mahasiswa adalah datang ke studio-studio televisi untuk duduk di bangku dan bersuara sesuai koor. Sudah cukup untuk memberi bau keringat pada almamater karena bau pengharum ruangan lebih memikat.
Pertanyaan besar muncul dan selayaknya menjadi modal utama untuk melakukan instrospeksi diri masing-masing. Apa yang salah dari kita sehingga membuat sang singa menjadi kucing rumahan yang rindu elusan? Apa yang salah dari kita hingga membuat ideologi yang dulu diagung-agungkan menjadi umpan untuk mencari makan? Apa yang salah dari kita sehingga kita tidak bisa apa-apa saat dihadapkan pada kebohongan (pejabat publik)? Apa sebenarnya yang salah sehingga lingkaran setan itu hanya tinggal cerita?
Restorasi, mulailah dari diri sendiri
Mencari kambing hitam dari degradasi peranan mahasiswa saat ini hanya akan menguras tenaga dan mengurangi produktifitas. Jika kita memang hendak mencari, semua pihak telah terlibat. Keluarga sebagai sarana pendidikan pertama mempunyai peranan untuk membentuk karakter pemuda dari mulai kanak-kanak hingga masuk ke perguruan tinggi. Masyarakat di lingkungan sekitar adalah suksesor dari keluarga. Instansi-instansi pendidikan juga ikut membubuhkan tanda tangan berikut kurikulum-kurikulum pendidikan yang salah. Hingga pelaku-pelaku ekonomi dan jagad dunia hiburan ikut serta membentuk karakter seseorang calon mahasiswa. Mencari kambing hitam dari permasalahan tidak lebih baik dari mencoba menemukan solusi, dan satu-satunya solusi yang terbaik adalah memulai dari diri sendiri.
Kamu yang berstatus mahasiswa, penulispun demikian, harus berani mengkritik diri sendiri sebelum mengkritik orang lain. Urusi ladang sendiri, jika sudah terurus baru mampir ke ladang orang lain. Berdiri kita di depan kaca, mematut bayangan hingga menertawakan diri sendiri. Kritik diri kita sendiri “Jadi ini toh mahasiswa yang kataya agent of change, problem solver, iron stock itu? Pantaslah mahasiswa sekarang melempem toh waktunya habis buat main-main, seharian gadget mulu yang dipantengin dan bla bla bla”. Kenali kekurangan-kekurangan kita. Kesalahan-kesalahan kita. Buat daftar kesalahan-kesalahan itu dan perbaiki satu per satu. Jika selama ini kita telah melenceng dari jalur mahasiswa yang benar, saatnya kita kembali. Kembali ke jalan utama. Mari bersama berbuat sesuatu untuk Indonesia tercinta. Perbaiki dirimu hari ini dan gantikan mereka yang tidak becus itu di masa yang akan datang. Salam semangat.
Yang bisa diandalkan dari mahasiswa menurut saya adalah idealismenya. Mungkin karena dalam kesehariannya mahasiswa banyak berkutat dengan teori ya. Tapi nanti setelah terjun ke masyarakat dan mengkaji masalah-masalah yang ada demi sebuah tanggung-jawab sebagai "agent of change" dan "problem solver", yang ada malah mahasiswa jadi mandeg karena idealismenya pelan-pelan mulai menghilang karena terpengaruh tuntutan hidup…
Hal yang seperti itu memang sering terjadi Mas, pascakampus mereka yang dulunya mahasiswa (bahkan aktifis mahasiswa) sudah dihadapkan dengan banyak persoalan, jadinya pandangan realis lebih diutamakan daripada idealis 🙂
Tulisan yang bagus, menginspirasi 🙂
Mencari kambing hitam atas degradasi peranan mahasiswa saat ini memang hanya akan menguras tenaga, meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa pengaruh budaya modern mempengaruhi pola pikir mereka, mempengaruhi karakter. Akan banyak tudingan kesana-sini jika mau dirunut permasalahannya.
Saya setuju dengan kalimat "Urusi ladang sendiri, jika sudah terurus baru mampir ke ladang orang lain", sebuah pengingat yang baik untuk semua orang, tidak hanya mahasiswa. Masih ada waktu untuk berbenah, dan semua mesti dimulai dari diri sendiri. Semoga saja banyak pemuda di luar sana yang sadar bahwa sebuah tindakan kecil positif yang dimulai dari diri sendiri pun nantinya bisa berefek domino menuju perubahan lebih besar.
Salam semangat.
Iya, Mas. Kebanyakan mahasiswa sekarang suka mengkritik tapi malah berbuat hal yang sama. Suka teriak-teriak sama yang korupsi tapi dianya saat ujian juga nyontek. Kalau kita punya angan-angan besar untuk merubah negeri ini, memang harus dimulai dari diri sendiri.
Terimakasih sudah mampir 🙂