Suatu hari di sebuah agenda, yang saya diundang sebagai pematerinya, seorang mahasiswi bertanya tentang kebingungannya. Waktu itu saya “ngoceh” tentang strategi sukses di kampus. Nah, si mahasiwi cantik ini–ya cantiklah, masa ganteng coba–merasa jurusan dia jalani sekarang itu gak luas prospek kerjanya. Sebagian besar prospek kerjanya juga “tidak ramah” terhadap perempuan.

Oleh karena sebab itulah si doi jadi kurang termotivasi untuk menjalani perkuliahannya. Padahal ia sudah berada di tahun dua perkuliahan.

“Apa yang harus saya lakukan supaya bisa menemukan semangat atau motivasi dari diri sendiri?” tanya gadis itu.

Saya juga punya dua orang adik cewek yang kuliah di perantauan, kata saya. Keluarga kami memang bukan keluarga yang berlebih dalam finansial, tapi soal kesadaran akan pendidikan itu tak perlu diragukan. Mungkin dulunya perempuan terkungkung dalam paradigma “gak perlu sekolah tinggi karena toh kerjanya cuma di dapur, sumur dan kasur”.

Tapi, please, itu pemikiran sudah gak bisa dipakai lagi alias sudah ketinggalan zaman.

“Justru sekarang perempuan mesti sekolah tinggi, meskipun di pascakampus nanti ia mengabdikan dirinya menjadi ibu rumah tangga semata!” lanjut saya dengan intonasi yang meninggi.

“Anak-anak kalian (perempuan) kelak punya hak untuk punya ibu yang terpelajar….” jawab saya atas pertanyaan mahasiswi tadi “… dan perempuan yang mendedikasikan dirinya menjadi ibu rumah tangga itu jauh lebih mulia dan bergengsi ketimbang berkarir di luar (rumah).”

Kasus yang sama tentu tidak hanya terjadi pada mahasiswi itu. Bahkan saya sendiri juga menjadi korban salah jurusan. Tapi bukan berarti anggapan yang merasa diri kita salah jurusan itu buat kita malas untuk berjuang.

Kalau sampai kejadian, itu bisa dibilang keterlaluan, bukan?

Kuliahnya kita jadinya cuma ngabisin duit orang tua saja. Belum lagi sakitnya hati orang tua di-PHP-in, satu-satunya pilihan adalah survive dan selesaikan itu dengan sebaik mungkin. Dan lagi, orientasi kuliahnya jangan buat cari kerjaan, tapi sebaliknya untuk bangun lapangan pekerjaan.

Baca juga: Saya salah jurusan, jangan dicontoh!

Lebih lanjut saya sampaikan, tak apa jika tidak bekerja di bidang yang sama dengan prodi kita. Tapi pada dasarnya kuliah itu kan untuk mengubah cara pikir kita terhadap sesuatu. Dengan modal itulah seharusnya mahasiswa bisa bertahan di garangnya kehidupan pascakampus. Entah itu ia akan jadi wirausahawan, aktivis LSM dan sebagainya.

Intinya, jangan terpaku dan sibuk memikirkan kerja di mana, tapi pikirkan bagaimana mengumpulkan bekal sebaik mungkin agar bisa digunakan kelak.

Ada perempuan cantik, kemudian yang cowok-cowok ini suka (ngelirikin peserta cowok), tapi pas dia tahu si cantik itu pendidikannya rendah, berkuranglah ketertarikan itu. Hampir semua cowok rasanya pengen dapat pendamping yang cerdas–tapi tentu cowoknya juga harus ngaca, biar nanti jodohnya sepadan.

Pokoknya itu dulu, kuliah dan berjuang sebaik mungkin. Rezeki sudah ada yang ngatur, selama kita masih mau berusaha, Allah itu Maha Adil.

Pada akhirnya, saya berbicara panjang lebar bahkan hingga linearitas studi saya yang gak linear. Jadi curhat colongan gitu. Tapi gak apa-apalah sebagai penguat argumen dan nasehat. Saya gak tau apakah mahasiswi yang nanya itu sudah puas dengan jawabannya atau tidak, tapi saya lihat beberapa kali ia tertegun dan mengangguk. Semoga jawaban ditambah curcol itu cukup untuk menjelaskan bahwa tak ada yang sia-sia selama kita memiliki niat dan berada di jalan yang benar.

Semoga juga tulisan yang sekadar ocehan random ini punya paling tidak sedikit hal yang bisa menebus waktu yang pembaca habiskan. Akhirnya saya teringat sebuah pepatah populer “di mana ada niat, di situ ada jalan”.

Kalau gak ada? Ya, buat jalannya sendiri. Percayalah pada kemampuan kita, karena kita adalah generasi terbaik negeri ini.[]

error: Konten dilindungi