Setelah berhasil lulus dalam ujian kualifikasi doktor (prelim) kemarin, salah satu pertanyaan yang muncul di benak saya, yaitu: kapan saya bisa nikah? #hee

Kamu yang tersesat dan membaca tulisan ini mungkin bakal berpikir saya galau, gak masalah sih, sebagaimana gak masalah juga seorang bujang yang sudah seperempat abad mulai mendamba-dambakan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah (dan saya yakin, tingkat kegalauan gadis pada usia yang sama berkali-kali lipatnya)

Tapi ya sudahlah, saya rasa itu bukan hal yang penting untuk kamu baca, bukan? Saya tidak akan meneruskan (bahasan) itu, karena waktumu sangat berharga untuk dihabiskan membaca hal remeh-temeh dan gak substansial,.. terlebih lagi title blog ini kan “Jurnal Pembelajar”… jadi mari kita bahas yang bernilai akademis saja.

Menjadi Doktor di Usia Muda

Sebelum masuk perguruan tinggi dulu, saya tak pernah berniat untuk melanjutkan kuliah setelah tamat S1. Bahkan, kalau boleh jujur, motivasi saya kuliah di jurusan yang saya pilih (teknik mesin) adalah untuk masuk ke perusahaan X yang mana suami dari tante saya punya koneksi ke pimpinannya.

(Nepotisme kamu bilang? Please,… this is Indonesia :p #wkwkwkland)

Dan waktupun berlalu, setelah saya cukup dewasa untuk berpikir, saya bisa memilih sendiri jalan yang ingin saya tempuh. Setelah hampir-hampir tamat nih, kepikiran untuk mengubah haluan dari pengen jadi praktisi ke pengen jadi akademisi. Dan awalnya, saya bahkan sudah menarget satu beasiswa bergengsi yaitu (sebut saja) LPDP.

Tapi manusia memang hanya bisa berencana ya, Allah lah yang menentukan,… dan alhamdulillah saya lulus beasiswa PMDSU.. dan diberi kesempatan untuk jadi doktor di usia muda. Gak muda-muda amat sih sebenarnya, kalau saya lulus nanti insyaa Allah udah doktor di usia 27 tahun.

Kupikir Semuanya Gampang

Ada satu pertanyaan yang bakal kamu dapatkan ketika kamu memutuskan untuk lanjut kuliah lagi setelah jadi sarjana.
Bukan, bukan “kapan nikah?” itu. Itu mah pertanyaan paling default yang pernah ada! Tapi pertanyaan seperti ini:
“Kok lu milih kuliah lagi sih, gak kerja?”
“Otak lu masih kuat ya buat belajar? Gue sih gak”
“Kalau gini mah kapan lu bahagianya, habis buat belajar mulu”
Saya pengen jawab, “Gue bahagia, sumpah! Bisa ngatur waktu fleksibel, bisa nambah ilmu juga, dapat gaji pula (baca: beasiswa)”
Pertanyaan-pertanyaan di atas itu termasuk ke dalam Frequently Asked Questions (FAQ) yang saya terima,… dan barangkali kali ini saya nyolong waktu sedikit buat ngejawab.
Mau nyambung kuliah, langsung kerja atau bisnis itu pilihan masing-masing lha ya. Hanya saja, setiap akan memilih kita mesti paham dengan konsekuensi dan peta jalan dari setiap pilihan itu.
Di awal-awal saya jadi mahasiswa doktoral, pembimbing saya sering kasih motivasi, begini katanya:
Kalian jangan iri lihat gaji teman-teman kalian yang lain, di perusahan ini dan itu. Gaji mereka mungkin besar dan (beasiswa) kalian sedikit. Tapi semuanya butuh proses. Belajar saja dengan benar, pada waktu tertentu kalian akan mencapai titik di mana pencapaian kalian akan sama atau melebihi mereka.
Mungkin ada beberapa dari kamu yang sedang membaca ini yang masih anak sekolah, atau mahasiswa S1 atau bahkan yang sudah pascasarjana, saya berharap kamu memikirkan dengan bijak jalan yang akan kamu pilih sendiri. Tapi satu bocoran nih yang membedakan praktisi dan (calon) akademisi adalah: praktisi nyaris mengulang-ulang hal yang sama setiap harinya dalam pekerjaan mereka, namun (calon) akademisi harus mempelajari hal baru dan menambah luas wawasannya seiring berjalannya waktu.
Itu sih yang bikin susah. Mesti komit dan menjauhkan diri dari godaan. Bahkan, menurut pembimbing saya pacaran dan ngebet nikah itu juga termasuk godaan. Padahal ya itu sesuatu yang sangat berbeda; satu jelas haramnya sedang satu lagi jelas halalnya

Menyisil Masa Depan

Sebagai penutup tulisan ocehan ini, saya pengen bilang selamat buat kamu yang kemudian memutuskan untuk menjadi seorang akademisi (entah itu pengajar atau peneliti). Pasalnya, menimba ilmu pengetahuan dan memberikan manfaat dari itu adalah upaya menyicil masa depan.
Bukan cuma masa depan di dunia lho. Tapi juga di akhirat.
Kamu mencari ilmu pengetahuan, tapi sejatinya ilmu itu bukan hak dirimu sendiri. Kita tentu akan berhadapan dengan hal-hal rumit yang bisa saja bikin rambut rontok (hei, lihatlah para profesor kita itu). Tapi kita tak ada bedanya dengan para penceramah di rumah-rumah ibadah, kita juga punya kewajiban untuk menyampaikan hal-hal rumit yang kita pelajari tadi dengan lebih sederhana kepada khalayak.
Kesudahannya, izinkanlah saya mengutip perkataan legenda dari Nelson Mandela, “Education is most powerful weapon which you can use to change the world”. Mari ubah dunia ini, teman-teman. Agar menjadi dunia yang lebih baik bagi kehidupan manusia.
error: Konten dilindungi