Pernahkah kamu bertanya-tanya pada diri sendiri atau orang lain di sekitar, kenapa pelajar Indonesia tertinggal oleh negara lain? Meskipun ada pelajar Indonesia yang berhasil meraih juara dan membawa pulang medali dalam olimpiade ini dan itu, tapi setelah itu apalagi? Apakah kesuksesan kita sebagai pelajar terbatas dengan deretan ranking-ranking itu? Apakah kesuksesan kita sebatas meraih juara kelas di sekolah masing-masing? Lantas, setelah itu apalagi? Tidak ada apa-apa yang bisa kita berikan kepada orang lain karena prestasi juara ini dan itu hanya akan berdampak pada diri sendiri dan lingkungan sekitar. Lebih jauhnya, apa sumbangan pelajar Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat, sesuatu yang bisa dipakai masyarakat dalam waktu lama?

Artikel ini sengaja saya tulis untuk membuka pemikiran kamu, bahwa sebenarnya selama ini kita telah salah menentukan orientasi (arah gerak) kita. Juga tujuan kita. Tujuan dalam belajar, bersekolah atau menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Kesalahan-kesalahan yang kemudian menjadi alasan utama kenapa pelajar Indonesia tertinggal oleh negara lain. Simak ya!

Ilustrasi dari republika.co.id

1. Parameter sukses kita terfokus pada materi
Pertanyaan pertama. Kenapa kamu sekolah/kuliah? Jawaban paling mainstream adalah untuk menggapai cita-cita, lebih khusus untuk mendapatkan pekerjaan. Pekerjaan didapat tentu untuk materi. Karena pola pikir yang demikianlah banyak di antara kita yang ingin berprofesi sebagai dokter, insinyur, pengacara atau pekerjaan lainnya yang cepat mendatangkan uang. Sementara sektor kreatif jarang peminat, padahal sektor inilah yang mempunyai peluang besar untuk mendulang prestasi.

2. Hasil lebih penting daripada proses
Pemahaman yang satu ini sudah mendarah-daging di masyarakat Indonesia, termasuk pelajar. Hasil akan lebih diagung-agungkan karena semua orang hanya memuji hasil bukan bagaimana proses untuk mendapatkan hasil itu. Seorang ayah/ibu seringkali marah atau kecewa pada anaknya saat mendapat ranking yang kurang bagus meskipun si anak sudah berjuang mati-matian untuk belajar. Alhasil, karena paham inilah jalan-jalan pintas sering diambil, seperti mencontek, menyewa joki dan sebagainya yang merupakan kerabat dekat tindak korupsi. Hmm.

3. Pelajar Indonesia lebih suka menghafal daripada memahami
Banyak yang tanpa sadar mengidentikan, mengarahkan bahkan memerintah siswa/mahasiswa untuk lebih suka menghafal daripada memahami. Guru-guru atau dosen-dosen yang text book oriented, kalau lagi ulangan atau ujian jawaban harus sama seperti di buku, kalau tidak coret besar. Siswa atau mahasiswa diharuskan menghafal rumus-rumus, teori-teori hingga tanggal-tanggal ini dan itu. Padahal sebenarnya cukup memahami kapan dan bagaimana penggunaan rumus itu. Di kampus, saya sangat apresiasi sekali dengan dosen yang beri ujian open book, beliau bilang “rumus bukan buat dihafal tapi buat dipakai”. You are the real MVP, Pak/Bu!

4. Terlalu banyak pelajaran buat dihafal
Entahlah, saya pernah jadi pelajar selama 12 tahun, jadi mahasiswa S1 selama 4 tahun lebih, sekarang jadi mahasiswa lagi untuk 4-5 tahun yang akan datang. Selama itu, otak saya sudah penuh dengan segala teori (hafalan) yang cuma berhasil masuk ke memori jangka menengah. Saat di sekolah kita dibebani dengan banyak pelajaran (untuk dihafal), para pengajar berusaha mendidik kita untuk pandai di semua bidang tapi tidak pernah master di satupun.

5. Sukses menghafal, menang di olimpiade, lalu setelah itu?
Untuk bidang yang berbasis akademis Indonesia memang cukup dikenal, banyak yang bisa jadi juara di Olimpiade Fisika, Kimia dan ilmu lainnya. Namun sayang, tidak banyak yang bisa meraih penghargaan Internasional yang berbasis kreatifitas atau inovasi. Sangat hebat dalam teori namun lemah dalam terapan, itulah karakter kita pelajar Indonesia.

6. Malu berbuat salah dan mengakui kesalahan
Ketika guru atau dosen bertanya di setiap akhir jam pelajaran “ada yang ingin ditanyakan”, hampir semua peserta didik diam membatu. Sebenarnya bukan karena tidak ada yang ingin ditanyakan, tapi karena malu. Malu untuk bertanya, malu untuk dianggap tidak mengerti oleh yang lain (bahasa kasarnya: malu dikira bodoh). Ketika disuruh menjawab soal di depan kelas tidak ada yang berani, alasannya malu kalau tidak bisa menjawab, malu kalau jawabannya salah. Karena sifat malu dan takut itulah, rasa ingin tahu dan keberanian mengambil resiko sangat minim.

7. Minimnya motivasi untuk bersaing
Toh, jika 6 poin sebelumnya sudah berhasil ditangani, semua percuma kalau motivasi untuk bersaingnya yang minim. Banyak pelajar yang menghindari persaingan, istilahnya banyak yang mau cari aman. Enggan ikut perlombaan karena sudah merasa tidak sanggup duluan. Please deh, apapun di dunia ini tidak bisa didapatkan dengan sekali usaha. Kapal tidak akan sampai dengan sekali dayung. Thomas Alfa Edison perlu percobaan ratusan kali hingga ia menemukan bohlam yang kamu gunakan untuk menerangi kamarmu untuk belajar di malam hari. Motivasi bersaing ini sangat penting, agar pelajar Indonesia punya ranah dan kesempatan untuk unjuk gigi di kancah nasional maupun internasional.

Tulisan saya hari ini cukup panjang tapi semoga bisa diambil manfaatnya. Terimakasih telah meluangkan waktu sahabat untuk membaca. Jika tulisan ini terasa bermanfaat jangan sungkan untuk membagikan dengan yang lain. Setidaknya semakin banyak yang tahu kenapa pelajar Indonesia tertinggal oleh negara lain. Salam semangat.[]

error: Konten dilindungi