Kemarin (12/10) jagat dunia maya heboh, berawal dari munculnya berita dari posmetro.info dan onlineindo.tv yang membicarakan soal sepinya sambutan masyarakat Padang (Sumbar–red) terhadap kedatangan Jokowi. Isu ini menjad seksi sekali dikarenakan bahwa SUMBAR merupakan salah satu provinsi dimana Jokowi kalah telak saat pemilihan presiden tahun 2014 lalu. Tentu saja latar belakang yang demikian dimanfaatkan oleh awak media untuk meraup untung dengan mengundang trafik sebanyak-banyaknya. Nyatanya, proyek mereka berhasil dengan banyaknya share viral tautan berita (yang diragukan kebenarannya) itu.

Tidak cukup sampai disitu. Relawan-relawan sosial media berhasil membuat tagar #PadangCuekinJokowi menjadi Trending Topic Indonesia di Twitter ketika matahari masih menggantung tinggi. Saya cukup terkejut tapi tidak terlalu, lagipula itu sudah hal yang biasa yang sudah menjadi tradisi semenjak 2014 lalu. Beberapa akun anonim yang dikenal sebagai haters Jokowi menjadi koordinator aksi pem-booming-an isu ini. Lantas, apa kepentingan saya menulis ocehan ini?

Begini kawan-kawan, kita tahu bahwasanya industri media saat ini sangat berkembang cepat. Semua orang (bahkan saya) bisa membuat media sendiri dengan modal yang murah dan sumber daya yang tidak seberapa. Ditambah sosial media yang menjadi media perlawanan atas media mainstream yang dikelola secara terstruktur.

Maraknya media dan cepatnya perguliran informasi menjadikan peredaran isu begitu cepat. Baik itu yang benar ataupun salah. Hanya saja, untuk kasus ini, saya pribadi sangat menyayangkan tingkah dua media yang disebutkan di atas mengolah isu yang sangat tendensius, menjadi promotor penyebar berita tidak benar yang ujung-ujungnya menjadi pemahaman bagi masayarakat (terkhusus netizen) seolah-olah itu adalah benar. Yang berujung pada keraguan saya atas kredibilitas kedua media di atas.

Terkait etika jurnalistik
Saya memang bukan orang jurnalistik tapi saya cukup tahu dengan hal-hal dasar dalam jurnalisme. Sebuah berita baru bisa dikatakan berita ketika ia menyajikan fakta bukan pendapat dari si penulis atau redaktur. Jika yang disampaikan itu mengandung pendapat maka jatuhnya menjadi opini, dan tentu saja opini sarat akan subjektifitas dari penulis atau redaktur yang akan berujung pada tendensi. “Berita” yang marak dibagikan di media sosial kemarin tentu tidak bisa kita sebut dengan berita karena. 1) tidak memenuhi kaidah 5W+1H 2) tidak jelas siapa narasumbernya, hanya opini netizen dalam media sosial 3) foto yang dijadikan ilustrasi konon dicaplok dari sebuah media beberapa tahun yang lalu. Ketiga pelanggaran di atas akan mengantarkan kita bahwa kedua media tersebut hanya media ecek-ecek yang berharap trafik dan klik iklan yang banyak.

Mengecek kebenaran informasi
Ada hal yang sangat penting yang dilupakan netizen saat membagikan tautan berita, dua di antaranya lupa mengecek sumber berita valid atau tidak dan lupa membaca isi berita dan langsung membagikan saat melihat judul berita. Dua hal itu menjadi bumerang yang bisa saja menjadikan diri anda tampak (maaf) bodoh karena gampang terpengaruh oleh propaganda media.

Sedikit informasi, dalam penulisan berita, judul adalah elemen penting. Orang akan tertarik untuk membaca ketika judulnya menarik oleh karena itu awak media harus pandai menyulap judul semenarik mungkin. Bahkan, jika kamu tahu, mereka bisa saja mengubah judulnya saat dibagikan di timeline media sosial. Hasil terburuknya adalah judul menjadi bertolak belakang dengan isi. Oleh karena itu jika ada berita yang tersebar (apalagi sangat cepat) di media sosial baiknya dicek dulu.

Jadilah pembaca yang cerdas
Ketidaksukaan kita pada sesuatu adalah hal yang wajar tapi jangan sampai tidak sukanya kita membelenggu atau bahkan mematikan rasionalitas kita dalam berpikir. Sehingga kita alpa soal perbedaan mendasar antara mengkritik dan (maaf) mencemooh. Kritik baik. Cemooh jelek.

Pembaca yang cerdas akan bertanya-tanya soal apa yang ia baca, dengan kata lain tidak mengamini sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu. Jujur, saya tidak memihak siapapun di sini, tapi semenjak isu kemarin menjadi trendic topic tentu terbangun paradigma dalam masyarakat Indonesia bahwa orang Padang benci Jokowi.

Dari dulu orang Minang terkenal dengan orang yang suka berpikir, jika mereka tidak suka mereka bermain kias. Mereka bukan orang yang terang-terangan dalam menghujat. Mereka adalah orang yang kenal dengan sopan santun. Mereka adalah orang-orang yang mangango sabalum mangecek. Kesudahannya marilah kita sama-sama menjadi orang Minang yang profesional, jika ada yang perlu dikritik, kritiklah dengan baik. Kita dukung pemerintah untuk dapat bekerja lebih baik tanpa alpa dalam mengawasi. Semoga negeri ini menjadi negeri yang makmur dan sejahtera.[]

error: Konten dilindungi