Malam ini hujan turun lagi dan Fatimah tercenung lagi. Di benak perempuan itu berkelabat bayang-bayang tentang siang tadi yang begitu garang, langit begitu terang seolah awan tiada mengandung hujan. Kain jemuran Fatimah dapat juga kering setelah sebelumnya terampai lembab di tetali plastik yang menggantung di dinding-dinding dapur. Namun selepas maghrib tadi kesiur angin berubah badai, kilat menampakkan diri bersama petir yang menggelegar. Berikutnya rerintik air terjun membasahi tanah yang belum benar-benar kering setelah hujan sebelumnya, hujan-hujan yang datang seenaknya—selalu saja melenceng dari perkiraan cuaca yang disiarkan di televisi atau di radio.
            Fatimah tengah duduk di depan meja belajarnya yang tepat berada di samping sebuah jendela kecil. Di meja belajar itu terkembang buku tulis seukuran folio pada halaman-halaman yang masih kosong. Hanya sebuah titik yang baru tertulis di halaman buku itu, titik dari pena Fatimah yang satu jam tiada juga bergoyang. Itu adalah sebab pikiran Fatimah yang melayang-layang. Ia sebenarnya hendak menuliskan ringkasan materi pelajaran untuk ia ajarkan esok pagi di sekolah tapi hujan malah turun pula. Kemarin juga begitu, ia hendak menulis ringkasan tapi hujan lebat adanya. Dan manakala hujan lebat sebegitu ia sama sekali tiada dapat berangkat ke sekolah untuk mengajar. Batang air yang meluap akan menenggelamkan jembatan layang penghubung tempat tinggalnya dengan sekolah tempat mengajarnya itu. Hanya jembatan itu akses terdekat, ada memang jalur lain namun itu adalah jalur yang panjang dengan memutari desa dan lebih parah lagi sebab jalannya berlobang dan rawan longsor. Lantas di saat hujan seperti ini Fatimah hanya dapat mengurung diri di kamar kontrakannya atau kadang-kadang ia menikmati hujan dengan menatapnya dari balik jendela bersama nyanyian katak-katak yang bersuka ria. Fatimah menatap langit kelam adanya, rembulan barangkali tergelincir sebab dudukannya yang dibasahi air menjadi licin. Ah, redakanlah hujan ini ya Tuhan! pinta Fatimah, katak-katak yang bernyanyi itu memberi pandang tak suka; Hei! Tidak tahukah kau hujan adalah waktu terbaik untuk merindu! Ah, redakanlah hujan ini ya Tuhan! Fatimah meminta lagi, ia benar-benar ingin kembali ke sekolah buat bertemu kanak-kanak penuh semangat yang mencuri hatinya itu. Ia benar-benar rindu.


***
            Fatimah adalah guru baru di sekolah itu, sekolah dasar satu-satunya di kampung nan jauh. Ia didatangkan dengan bujuk rayu cepat diangkat menjadi PNS. Fatimah memang belum lama menyelesaikan studi PGSD-nya di sebuah perguruan tinggi negeri, tapi ia hendak cepat-cepat bekerja agar dapat mandiri. Maka dari itulah ia tidak menolak ketika diminta pemerintah setempat untuk mengajar di sekolah dasar di kampung itu. Ketika permintaan itu datang ia langsung mendiskusikannya dengan keluarga meski ia sendiri tidak tahu kenapa ia dipilih dan darimana orang-orang itu mengetahui kontaknya. Kemudian setelah keluarganya kompak setuju Fatimah beres-beres, segala sesuatu yang sekiranya dibutuhkan ia persiapkan betul. Tempat yang akan ia tuju adalah daerah terpencil yang belum tersentuh gaya hidup urban, oleh sebab itu Fatimah harus mantap dengan persiapan. Lalu ketika datang harinya ia berangkat setelah menciumi punggung telapak tangan kedua orang tuanya dan berpamit kepada keluarga besar, ia mengantongi berbagai pesan hingga sampai pada tempat yang dituju dan mencari sebuah kontrakan kecil.
            Pada awal kedatangan Fatimah ke tempat itu ia berharap agar kerjanya disana tidak terlalu lama sampai diangkat menjadi PNS dan mengurus surat pindah tugas setelah itu. Awalnya memang ia tidak menemukan sebentuk kesenangan tapi setelah ia mengenal kanak-kanak itu Fatimah langsung jatuh hati. Ia menemukan cintanya di tempat itu, membuatnya betah dan tidak lagi peduli dengan statusnya sebagai guru bantu yang entah kapan turun SK-nya.
            Di sekolah dasar tempatnya mengajar Fatimah dipercayakan sebagai walikelas kelas dua. Muridnya memang tak banyak, masih dapat dihitung jari, hanya 9 orang. Konon ketika murid-muridnya itu duduk di kelas satu mereka semua berjumlah 20 orang namun seiring berjalannya waktu semakin berkurang saja. Ada yang terpaksa berhenti sekolah karena diajak keluarganya untuk merantau keluar kota. Ada yang harus membantu ayah-ibunya menggarap sawah atau ladang. Fatimah tiada dapat berbuat apa-apa bukan hanya karena ia hanya seorang guru bantu tapi juga karena ia memang tak pandai membujuk para orang tua agar anak-anak mereka kembali bersekolah. Oleh sebab itulah Fatimah berusaha keras untuk dapat mengajar sebaik mungkin untuk menjaga kobaran semangat belajar muridnya. Setiap malam sebelum mengajar ia akan membuat ringkasan pelajaran untuk esok hari sembari berpikir tentang permainan menarik untuk menambah minat belajar dan semangat murid-muridnya. Sesekali Fatimah akan pergi ke kota untuk mencari buku, buku-buku tentang permainan kanak-kanak atau cerita para nabi dan kisah teladan lainnya, sebagai pengusir bosan di sela-sela jam pelajaran.
            “Apakah kalian mempunyai cita-cita?” tanya Fatimah suatu ketika. Kanak-kanak itu antusias menjawab ‘ya’. Ketika Fatimah menyakan apa saja cita-cita mereka ia terkejut dan terharu. Ada yang bilang ingin menjadi camat, ingin menjadi bidan, menjadi ustadz, menjadi pedagang,… cita-cita yang tulus! pekik hati Fatimah. “bercita-citalah dan gantungkan setinggi-tingginya, seperti Neil Amstrong yang dari kecil ingin bermain ke bulan dan kemudian di masa depan ia benar-benar bisa pergi ke bulan!” Dan sebenarnya Fatimah juga memiliki cita-cita yang bila ia ceritakan hanya akan mengundang tawa. Itu cita-cita barangkali lebih tepat disebut sebuah keinginan tapi Fatimah kukuh membilangnya sebagai cita-cita, bahwasanya cita-cita Fatimah adalah menjadi seorang ibu. Biasakah? Ya, memang biasa. Fatimah ingin menjadi seorang ibu yang mampu mendidik anak-anaknya dengan sebaik-baik didikan. Ingin ia mengajari anak-anaknya sedari dini untuk sembahyang dan mengenal alifbata juga cerita-cerita tentang para nabi, sahabat dan orang-orang yang zuhud. Fatimah ingin menjadi seorang ibu dengan perhatian penuh. Biasakah? Ah, tentu saja. Tapi bukankah semua berawal dari suatu yang biasa; karena kebiasaan. Anak-anak yang dididik baik sedari kecil akan tumbuh dan mampu melakukan hal-hal yang baik di waktu besar, yang berguna bagi agama, nusa, dan bangsa. Dan begitu pula sebaliknya. Dan apakah itu adalah sesuatu yang biasa? Fatimah ingin menjadi seorang ibu memang, tapi (ia tahu) bahwa ia juga harus memerlukan seorang ayah.
***
            Apabila ada satu saja dari kesembilan murid Fatimah yang tidak datang ke sekolah, maka sepulang sekolah Fatimah akan mencari muridnya itu ke kediamannya meski sudah jelas kabar berita kenapa si murid tidak datang. Kanak-kanak itu adalah kanak-kanak yang luar biasa semangat hingga tak mungkin mereka bolos tanpa alasan yang jelas. Pernah kanak-kanak itu datang dengan seragam berluluk ke sekolah karena terjatuh di setapak yang lanyah. Pada waktu yang lain  pernah mereka datang basah-basah sebab jembatan layang yang rusak membuat mereka harus menyebrangi batang air dengan tali. Ada pula yang datang dengan baju rumah ke sekolah dan bagi Fatimah itu bukan merupakan sebuah masalah selama semangat belajar masih di genggaman. Betapa malangnya ketika peraturan membuat seorang anak harus memendam impiannya, senyum rekahnya, dan renyah tawanya.
            Kanak-kanak itu mempunyai tawa yang renyah! Renyah tawa yang membahana, mengawang hingga tujuh lapis langit, menuju kediaman malaikat-malaikat dan Tuhan. Malaikat-malaikat lalu berbincang-bincang kemudian berdoa agar senang senantiasa kanak-kanak itu menggapai impiannya yang tergantung di pohon asa. Lantas pepohonan dan segala sesuatu di tujuh lapis bumi mengaminkan doa-doa para malaikat itu.
            “Tami, Tami, Tami. Ha ha ha” Sam terpingkal-pingkal.
            “Hei. Hei. Hei. Kenapa dengan Tami? Bukankah tadi Ibu bercerita tentang Abu Nawas?” Fatimah mengerutkan kening.
            “Anu Bu. Tami kemarin tidak sengaja menabrak Pak Guru Kelas 3 dan muka Tami semerah kepiting rebus! Ha ha ha” jelas Syahid, berikut seisi kelas tertawa dan Fatimah pula.
            “Abis Pak Guru itu muda dan ganteng sih Bu!” balas Tami dengan merah muka. Dan, aih, Fatimah pula.
***
            Lalu memang hujan turun tak menanggung, dua hari berturut-turut tiada berhenti. Basah sudah semua tanah dan batang air sudah meluap, perlu sekitar dua hingga tiga hari agar dapat surut. Dan tentu saja selama itu Fatimah tiada dapat berangkat ke sekolah, padahal ia sudah sangat rindu dengan kanak-kanak itu. Ingin ia peluk satu persatu. Rindu ia mengajarkan perkalian dan pembagian, mengajari tata cara sembahyang, mengajari baca tulis, mebacakan cerita atau puisi dan segala macamnya. Fatimah rindu sangat dengan senyuman-senyuman malaikat-malaikat kecil itu, juga renyah tawa saat mereka mendengarkan cerita tentang Abu Nawas dan Tami dengan Pak Guru Kelas 3 itu. Ah! Bila Fatimah adalah pengarang atau penyair barangkali telah banyak cerita dan syair tentang hujan ia tuliskan, juga tentang sebuncah rindu yang hujan bawa. Tapi ia bukan pengarang, ia bukan penyair, ia memang piawai membaca cerita atau syair tapi ia tidak bisa menulisnya. Semasa hujan turun—sambil menatapi jendela—Fatimah hanya mencoret-coret kertas dengan gambar-gambar tentang dirinya dan kanak-kanak itu. Hasrat ingin bertemunya menggebu-gebu.
***
            Tiga hari berlalu pascahujan lebat itu dan batang air sudah mulai surut. Pula tanah yang sudah mengering. Pada suatu pagi di hari itu Fatimah duduk merenung di beranda kontrakannya hingga seorang lelaki datang dengan sepeda. Lelaki itu adalah Pak Guru Kelas 3, ia memaksa Fatimah untuk naik ke atas sepedanya. Kita harus ke sekolah, ujar lelaki itu dengan mimik yang serius. Fatimah kebingungan namun langsung menyambar sepatunya dan lalu sepeda itu melaju kencang.
            Sesampainya di sekolah betapa Fatimah begitu terkejut mendapati kanak-kanak itu berbaris rapi di depan kelas, tiada satupun yang tidak datang. Di pimpin Sam, kanak-kanak itu menciumi telapak tangan Fatimah dan lelaki di sampingnya sebelum kemudian masuk ke dalam kelas. Tami yang berdiri paling terakhir dengan muka merah berbisik lugu : karena kelamaan libur ya Bu, orang-orang jadi malas datang sekolah. Pak Guru Kelas 3 melirik pada Fatimah, merah bersemu muka perempuan itu. Dan sungguh tak tega Fatimah untuk mengatakan pada kanak-kanak itu bahwasanya sekarang adalah hari minggu.***Padang, 2012

Dimuat di Singgalang, 27 Mei 2012
error: Konten dilindungi