Oleh : Fadli Hafizulhaq*
(Dimuat di Singgalang, 23 Oktober 2011)

            Angin meniupkan kabar bahwa Min si garin surau telah pulang keharibaan Tuhan. Kabar itu marak diperbincangkan warga sekitar sedari tadi pagi, ada wajah-wajah cerah, sedih, datar, rupa-rupa manakala kabar itu menggerayangi telinga. Pemuda itu diperkirakan remuk ditimpa reruntuhan. Maka hari itu juga mereka berbondong-bondong mendatangi surau untuk memastikan kebenarannya.
“Salah kita tak memperhatikan pemuda itu” ujar seorang warga.
“Salah kita tak pernah menghadiri surau ketika lidahnya mengumandangkan adzan” warga lain menimpali.
“Salah kita tak membayar iyuran, padahal anak kemenakan kita mengaji dengannya” warga lain menambahkan.
            Semalam hujan turun deras sekali, angin ribut berpesta pora. Atap rumah bergemuruh, pepohonan meliuk-liuk, satu dua ada yang tumbang. Hujan lebat merendam rumpun-rumpun padi yang baru ditanam. Banjir tak dapat dielakkan.
“Salah kita yang kikir, tak mau berinfak barang sedikit” seseorang kembali bersuara.
“Salah kita yang kufur, tak mau bersyukur, hingga terlalu memilih-milih”
“Salah kita yang tak acuh, tak memperhatikan surau kecil ini hingga rubuh atapnya”
            Gurat-gurat sesal terlukis ditampang warga kampung itu. Sesampainya di surau, mereka mulai bergerak membongkar puing reruntuhan. Puing-puing itu telah membungkam garin surau yang tak pernah bosan mengumandangkan adzan, meski warga kurang mengacuhkan. Yang tidak pernah lelah mengajar anak-anak kampung mengaji, menyorakkan himbauan datang ke surau ketika maghrib menjelang. Besar kemungkinan lelaki yang barangkali menyimpan dendam pada mereka itu terhimpit kaku. Warga mendadak gelisah.
“Cepat bongkar reruntuhan ini!” seorang lelaki berpakaian safari mengeluarkan titah.
            Warga bahu membahu membongkar runtuhan surau kecil itu.
***

            Genap setahun pemuda kerempeng itu mendatangi kampung, namun sampai sekarang tak satu pun yang mengetahui secara pasti asal maupun maksud kedatangannya. Ketika menemui kepala desa waktu pertama kali datang ia hanya berkata ingin lebih meresapi hidup. Ia hanya membawa sekoper pakaian.
            Semula Pak Kades meminta pada warga agar mengasihani pemuda itu untuk sebuah tempat tinggal, namun warga yang mayoritas pesawah itu tak satu pun yang menyatakan sanggup. Hidup kami cukup-cukupan, bukan berkecukupan, mereka berdalih. Alhasil, lelaki itu memutuskan untuk tinggal di surau yang sudah lama tak terurus.
            Konon surau itu sudah lama terlantar. Bangunannya telah keropos, lantainya berlobang, pilar-pilar penyangga yang terbuat dari kayu mulai getas oleh rembesan air yang masuk melalui seng yang bocor.
Dulu pernah ada seseorang pemuda kampung itu tinggal disana, menghabiskan masa-masa penganggurannya dengan berjibaku mengurusi surau tua itu, namun suatu ketika orang itu menghilang entah kemana. Ia pergi tanpa pamit, warga yang mengetahui ihwal kepergiannya berbaik sangka saja, barangkali lelaki itu memutuskan untuk merantau mencoba menjadi da’i kondang sebab pekerja akhirat di kampung susah mendapat tempat.
            Nasib Min dengan orang itu sebelas dua belas, ia jarang makan karena tidak ada pemasukan, ia tidak beroleh uang dari upayanya menjadi penjaga dan pengurus mesjid, iuran para santri pun TPA selalu macet. Ia lantas menawarkan diri untuk bekerja di sawah-sawah warga untuk bertahan hidup, hasil kerjanya yang ‘daripada tidak’ itulah yang ia gunakan untuk makan sehari-hari.
            Semula warga berpikir Min akan pergi sebab mengalah pada keadaan, namun kenyataannya ia mampu bertahan 2 tahun hingga pada akhirnya musibah robohnya surau itu menghentikan periode kebertahanannya. Selama 2 tahun itu ia tetap menjalankan rutinitas itu, seolah tanpa pernah lelah, mengajar mengaji meski semakin hari santri semakin berkurang, menyuarakan adzan meski hari berlalu tak pernah banyak yang datang.
Masalahnya sama sekali bukan Min yang kehadirannya diresahkan, atau ia yang tak pandai bergaul. Min adalah orang yang senang bergaul meski tak pandai. Ia senang mengajak warga berbicara tapi masalahnya selalu tinggi tingkat pembicaraannya, warga yang rata-rata hanya menyelesaikan wajib belajar 9 tahun itu kebingungan dibuatnya. Alhasil pada kemudian hari mereka sudah jera diajak Min berbicara. Lelaki itu juga tak pernah alpa mengikuti kerja bakti sebagai sarana mendekatkan diri. Rupa-rupa upaya telah ia kerahkan, namun malangnya mereka seperti tak dapat disentuh.
***
            Kampung itu telah diguyur hujan lebat disertai badai ganas seminggu lamanya, warga hanya bisa bersembunyi di kediaman masing-masing. Mereka melilih menyeruput teh atau kopi panas, berbincang riang dengan keluarga atau bersembunyi di balik selimut bulu tebal diatas ranjang.
            Hujan yang baru beberapa menit reda turun kembali. Mereka yang sedari tadi sibuk menyingkirkan puing-puing reruntuhan bergegas pergi. Lelaki berpakaian safari itu telah hilang dari pandangan.
“Salah kita yang tak memperhatikan garin itu”
“Salah kita tak menghargainya yang dengan murah hati mendidik anak-kemenakan kita”
“Salah kita ia mati dengan cara seperti ini!”
            Beberapa warga masih bergiat menyingkirkan reruntuhan disaat yang lain sudah pergi. Tampak kegusaran pada wajah-wajah mereka. Hujan turun semakin deras.
“Bagaimana pun harus kita temukan jasad pemuda itu”
“Bagaiamana pun harus kita selenggarakan ia dengan sebaik-baiknya, sebagai permintaan maaf”
“Bagaimana pun ini semua salah kita”
            Hujan turun semakin deras. Badai datang tiba-tiba. Menyadari ketidakmungkinan melanjutkan pekerjaan itu beberapa warga yang tinggal memutuskan bubar. Gurat sesal masih terukir di wajah mereka. Hujan yang terus mengguyur menyamarkan air mata.
***
            Genap seminggu mereka menggali reruntuhan surau itu, semakin hari warga yang bertahan semakin berkurang. Hujan yang turun deras seolah menghambat semua usaha mereka, hingga pada akhirnya warga yang masih bertahan menyingkirkan reruntuhan itu sepakat berhenti. Mereka bergegas ke balai kampung. Reruntuhan surau itu belum setengahnya tersingkirkan. Warga akhirnya sepakat mengadakan pertemuan di balai membincangkan hal itu.
***
            Beruntung cuaca bisa diajak bersahabat, masih mendung-mendung hendak gerimissehingga beberapa warga dapat menunaikan undangan untuk datang ke balai. Sebagian yang telah datang mulai berbincang-bincang sementara menunggu yang lain. Beberapa menit berlalu, semua elemen masyarakat sudah lengkap, musyawarah hendak dibuka secara formal namun seorang lelaki tiba-tiba angkat bicara.
            “Bukankah salah kita semua ini wahai saudara sekalian?!”
            Suara lelaki itu membersamai gemuruh yang mulai terdengar.
            Seminggu sudah mereka menggali reruntuhan itu, tak peduli hujan dan badai yang menerpa diri, namun apa yang dicari belum tercium keberadaannya. Puing-puing rentuhan itu belum sampai setengahnya tersingkirkan.
            “Celakalah kita! Sudah kita sia-siakan pemuda elok perangai. Tulus ia mengajarkan anak-kemenakan kita mengaji, meski tak di gaji sekalipun ia tak pernah surut, tapi apa yang kita lakukan?”
            “Celakalah kita! Murka Tuhan akan didapat, siksa batin tak dapat dielakkan. Kita merasa punya hati, tapi di dada ini hati itutelah membusuk”
            “Celakalah kita! Sudahlah murka Tuhan didapat, siksa batin tak dapat dielakkan, kita juga telah menelantarkan surau warisan tetua. Kita abai padahal disana pendahulu mempelajari hidup, menelisik kepicikan dunia. Kita lupa bahwa surau itu adalah tempat pembentukan masyarakat”
            Badai mulai mendesing, mereka beristighfar setelah sekian lama alpa dengan kalimat itu. Anggapan bahwa pemuda itu telah berpulang akan menjadi awal derita. Mereka percaya kesialan akan datang oleh ulah mereka itu. Mereka meratap.
            “Barangkali garin itu bukan berpulang, tapi telah meninggalkan kampung kita tanpa kita tahu”
            “Bukankah 2 minggu ini hujan lebat mengguyur, kita saja cuma bisa berdiam diri di rumah, kapan kiranya pemuda itu pergi?”
            Seisi balai mendadak pilu.
***
            Sebab musyawarah itu warga kampung jadi tersadar. Hari-hari yang berlanjut setelahnya sama sekali tidak membenarkan kekhawatiran tentang kesialan yang akan datang.Mereka tak menemukan jasad pemuda itu. Mereka bernapas lega. Sebagian besar dari mereka malah bersujud syukur. Dan lalu mengambil kata sepakat membangun kembali surau tempat Min pernah bersemayam.
            Pembangunan surau itu selesai dengan cepat, kurang dari satu bulan sudah rampung. Tampilannya sungguh jauh berbeda dengan yang lalu, lebih elegan, aman, dan nyaman. Lantai yang dulunya semen kini berganti keramik berkilat. Pilar-pilar beton menyangga loteng. Bahu membahu warga membangun tanpa upah, ketika telah selesai mereka kebingungan karena belum memikirkan siapa yang akan menghuninya.
            Semilir angin siang membawa mereka pada ingatan tentang pemuda kurus itu. Pemuda yang tak pernah bosan mengumandangkan adzan meski terkadang tidak ada jamaahnya. Pemuda yang mampu mengajar mengaji setulus hati tanpa bayaran, yang gigih mendekati warga meski tidak dapat triknya. Mereka malu menyadari bahwa mereka merindui pemuda itu.
            Suatu hari disaat langit begitu cerah, beberapa warga yang masih kebingungan perihal siapa yang menghuni surau berdiri bersama di pekarangan surau. Mereka menatap lekat apa yang telah mereka bangun. Beberapa jenak waktu zuhur masuk, salah seorang dari mereka berinisiatif mengumandangkan adzan dan lalu sembahyang. Lepas sembahyang berjamaah mereka berdoa, semoga pada kemudian hari mereka dapat menggunakan kedua belah mata untuk memandang.
*Fadli Hafizulhaq lahir pada 08 Maret 1992 di Nagari Kataping, Padang Pariaman. Tengah menempuh studi S-1 di Fakultas Teknik Universitas program studi Teknik Mesin.
error: Konten dilindungi